MALANG, KOMPAS.com - Tepat di penghujung peringatan tiga tahun Tragedi Kanjuruhan, mahasiswa Fakultas Ilmu Budaya Universitas Brawijaya (FIB UB) di Kota Malang, Jawa Timur, menggelar pameran karya seni sebagai wujud perlawanan kolektif.
Bertempat di lingkungan kampus, pameran yang berlangsung dari 29 September hingga 1 Oktober 2025 ini bertujuan merawat ingatan publik dan menggugat impunitas yang masih menyelimuti tragedi kemanusiaan tersebut.
Ketua Pelaksana Pameran, Gendadianta Hibrizi Kuncoro, menjelaskan bahwa acara ini bukan sekadar ajang mengenang, melainkan sebuah seruan untuk bertindak. Tema pameran tersebut yakni Membangun Ingatan, Membongkar Impunitas, Menggugat Keberanian, Menguatkan Solidaritas.
Baca juga: 3 Tahun Tragedi Kanjuruhan, Kuasa Hukum Keluarga Korban Sebut Keadilan Belum Didapatkan
Pameran ini dirancang untuk mendobrak kebisuan dan menuntut keadilan yang belum tuntas.
"Tragedi Kanjuruhan dengan 135 korban jiwa bukanlah luka milik Aremania atau warga Malang saja, ini adalah luka kita bersama sebagai bangsa Indonesia," ujar Gendadianta pada Rabu (1/10/2025).
"Melalui karya seni, puisi, dan kontemplasi, kami ingin menyadarkan kembali masyarakat tentang apa yang terjadi dan apa yang harus kita lawan bersama," sambungnya.
Baca juga: 3 Tahun Tragedi Kanjuruhan, Arema FC Janji Tak Henti Berbenah
Menurutnya, kasus ini masih jauh dari kata selesai, baik dari aspek hukum maupun sosial. Ia menyoroti perjuangan delapan keluarga korban yang hingga kini masih aktif menyuarakan keadilan dan menolak dibungkam dengan kompensasi materi.
"Pameran ini adalah bentuk dukungan kami agar suara mereka tidak lekang oleh waktu. Keadilan harus ditegakkan sebagaimana mestinya," tambahnya.
Pameran ini menampilkan lebih dari 20 karya seni yang berasal dari berbagai sumber. Sebagian merupakan karya pilihan dari mahasiswa baru FIB UB yang merefleksikan isu-isu sosial seperti kekuasaan yang korup dan perjuangan penegakan hukum.
Karya lainnya berasal dari submisi terbuka untuk umum, berupa poster, puisi, dan tulisan kontemplatif.
Namun, yang paling menyita perhatian adalah karya-karya lukisan di atas batu oleh siswa kelas 2 dan 4 SD dari Sekolah Seni Sahidnya Nawasena, Sukolilo, Kabupaten Malang.
"Karya dari anak-anak ini menjadi pengingat kuat bahwa nilai kemanusiaan dan empati harus ditanamkan sejak dini. Perjuangan melawan ketidakadilan bukanlah tanggung jawab orang dewasa semata," jelas Gendadianta.
Dampak pameran ini dirasakan langsung oleh para pengunjung. Nadia Lutfiah, seorang mahasiswi FIB asal Bogor, mengaku wawasannya terbuka setelah mengunjungi pameran.
"Saya bukan orang Malang dan awalnya tidak tahu banyak detail tentang tragedi ini. Setelah melihat karya-karya di sini, saya menjadi semakin melek bahwa keadilan bagi 135 korban jiwa memang belum ditegakkan," ungkap Nadia.
"Pameran ini membuat saya sadar bahwa aparat belum memberikan jawaban yang tuntas kepada masyarakat," tambahnya.
Sebagai puncak acara, pada Rabu (1/10/2025) malam terakhir pameran akan digelar diskusi publik yang menghadirkan perwakilan keluarga korban, Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Malang, dan Aliansi Jurnalis Independen (AJI).
Diskusi ini diharapkan dapat mengupas tuntas Tragedi Kanjuruhan dari berbagai perspektif, mulai dari dampak bagi keluarga, kebuntuan proses hukum, hingga pelanggaran hak asasi manusia yang terjadi.
Dalam segala situasi, KOMPAS.com berkomitmen memberikan fakta jernih dari lapangan. Ikuti terus update topik ini dan notifikasi penting di Aplikasi KOMPAS.com. Download sekarang