SIDOARJO, KOMPAS.com - Suasana mencekam menyelimuti Pondok Pesantren Al Khoziny Buduran, Sidoarjo, Jawa Timur, Senin (29/9/2025) malam lalu.
Bangunan tiga lantai ambruk, menimbun sejumlah santri. Di balik reruntuhan beton yang berat, seorang santri bernama Nur Ahmad terjebak dengan lengan tertindih material bangunan.
Di saat genting itulah, keputusan sulit harus diambil, yaitu amputasi yang dilakukan di lokasi agar nyawa korban bisa diselamatkan.
“Jam 07.11 saya ditelepon direktur RSUD RT Notopuro Sidoarjo yang sedang bersama bupati, Dinkes, dan tim SAR. Beliau menyampaikan ada satu pasien yang terjebak dan tergencet lengannya di bawah reruntuhan. Pasien ini kemungkinan memerlukan tindakan amputasi di tempat,” tutur dr Larona Hydravianto, Spesialis Ortopedi dan Traumatologi RSUD RT Notopuro, menceritakan pengalamannya menolong korban tragedi Al Khonziny dalam Obrolan News Room, Kompas.com.
Tanpa ragu, ia pun menuju lokasi. Setelah tiba bersama tim SAR, ia merayap ke titik korban berada.
Baca juga: Kisah Santri Evakuasi Adiknya yang Meninggal Saat Tragedi Ponpes Al Khoziny
Suasana gelap, sempit, dan pengap, hanya diterangi lampu kecil yang dipasang seadanya.
“Saya masuk, melakukan evaluasi awal, memanggil dan menyapa. Jawaban pasien iya, iya, aduh dengan suara pelan karena lemah. Matanya bisa terbuka, kaki bisa bergerak pelan, tapi tangan kanan benar-benar tergencet di bawah reruntuhan yang sudah sampai lantai. Tidak ada ruang sama sekali,” ucapnya.
Ia juga sempat meraba jari-jari korban yang dingin dan tidak bergerak. Karena kondisi sudah syok dan jika menunggu lebih lama hanya akan memperbesar risiko.
“Kalau kita tunggu, tidak tahu bangunannya bisa diangkat atau tidak, nanti malah membahayakan pasien. Sehingga kita lakukan amputasi ditempat,” ujarnya.
Amputasi yang biasanya dilakukan dengan peralatan lengkap di rumah sakit. Namun, saat itu harus dilakukan di bawah puing-puing rapuh, sehingga membuat situasi sangat berbeda.
Baca juga: BNPB: Tim SAR Sempat Gatal-gatal Selama Proses Evakuasi di Ponpes Al Khoziny
Sebelum melakukan tindakan, tim sempat menyiapkan sejumlah alat, tetapi ia menolak demi keselamatan pasien.
“Saya minta waktu untuk meminta bantuan. Kami memanggil dr Farouq Abdurrahman (anestesi), dr Aaron Franklyn (PPDS Ortopedi), serta perawat dan peralatan operasi lengkap, termasuk tabung oksigen,” kata dokter yang menempuh pendidikan Medical Doctor di Universitas Airlangga, Surabaya itu.
Nur Ahmad yang diamputasi usai tertimpa reruntuhan Ponpes Al Khoziny Sidoarjo, Jumat (3/10/2025).Tiga puluh menit kemudian, bantuan datang. Meski ruang gerak terbatas, tim dokter tetap melakukan operasi dengan prinsip cepat dan tepat.
“Saya putuskan memotong di sendi karena hanya perlu pisau kecil. Tidak butuh banyak alat, karena manuvernya terbatas,” ujar dia.
Bagi dr Larona Hydravianto dan tim, masuk ke reruntuhan bukan tanpa rasa was-was. Apalagi, di bawah puing bangunan yang sewaktu-waktu bisa runtuh kembali.