Dr. Ir. Dimitri Mahayana, M. Eng, CISA, ATD
Dosen STEI ITB & Founder Lembaga Riset Telematika Sharing Vision Indonesia

Dimitri Mahayana adalah pakar teknologi informasi komunikasi/TIK dari Bandung. Lulusan Waseda University, Jepang dan ITB. Mengabdi sebagai Dosen di STEI ITB sejak puluhan tahun silam. Juga, meneliti dan berbagi visi dunia TIK kepada ribuan profesional TIK dari ratusan BUMN dan Swasta sejak hampir 20 tahun lalu.

Bisa dihubungi di dmahayana@stei.itb.ac.id atau info@sharingvision.com

kolom

Perkembangan Terbaru AI Awal 2025 (Bagian II-Habis)

Kompas.com - 11/03/2025, 16:09 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

SELAIN DeepSeek yang telah mengguncang, potensi lain AI (Akal Imitasi/Artificial Intellegence) tahun ini adalah Agentic AI akan muncul sebagai tren teknologi strategis teratas.

Agentic AI membawa otomatisasi ke tingkat baru dengan kemampuan merencanakan, mengambil keputusan, dan beradaptasi secara mandiri.

Tren ini mendorong AI untuk mengelola alur kerja kompleks, mengkoordinasikan sumber daya, dan berkolaborasi tanpa campur tangan manusia, merevolusi berbagai sektor seperti bisnis dan penelitian ilmiah.

Baca artikel sebelumnya: Perkembangan Terbaru AI Awal 2025 (Bagian I)

Agentic AI: Peluang atau risiko?

Agentic AI adalah sistem AI yang memiliki tingkat otonomi dan dapat bertindak sendiri untuk mencapai tujuan tertentu.

Tidak seperti model AI tradisional yang hanya merespons perintah atau tugas yang ditentukan, Agentic AI dapat membuat keputusan, merencanakan tindakan, dan bahkan belajar dari pengalamannya dalam mencapai tujuan.

Agentic AI memiliki kapabilitas chaining, yaitu dapat melakukan serangkaian tindakan sebagai respons suatu permintaan, serta memecah tugas kompleks menjadi tugas-tugas kecil dan mudah dikelola.

Karena “pintar”-nya ini, maka pada 2028, diperkirakan setidaknya 15 persen pengambilan keputusan di perusahaan sehari-hari akan berjalan otonom melalui Agentic AI, demikian dilansir dari riset Gartner, 2025 Top 10 Strategic Technology Trends.

Agentic AI merupakan evolusi dari dua pengembangan awal. Pertama, AI Narrow (AI yang dirancang untuk tugas spesifik dan tidak bisa beradaptasi di luar fungsi diprogramkan).

Kedua, AI yang berkembang saat ini, yaitu Generatif AI (AI yang dapat membuat konten baru, seperti teks, gambar, audio, dan video, berdasarkan data yang telah dipelajari).

Penerapan Agentic AI memiliki beberapa risiko yang perlu dipertimbangkan masak-masak oleh perusahaan.

Pertama adalah keamanan. Dengan pengambilan keputusan yang independen dan kurangnya pemantauan, agen AI yang sudah disusupi dapat dimanipulasi untuk membuat keputusan membahayakan.

Baca juga: Review dan Outlook Industri ICT Indonesia 2025

Risiko kedua adalah perilaku tidak terduga. Karena beroperasi tanpa pengawasan manusia secara real-time, agen AI bisa saja menjalankan tugas dengan cara yang tidak dapat diantisipasi penggunanya.

Risiko ketiga, yaitu biaya, energi, dan sumber daya. Sistem agentic AI yang kompleks membutuhkan biaya tinggi serta sumber daya komputasi ekstensif yang menghabiskan banyak energi.

Risiko keempat, etika dan sosial. Jika agen AI membuat keputusan yang mengakibatkan kerugian, sulit untuk menentukan siapa yang harus bertanggung jawab.

Risiko kelima, kendali manusia. Karena kurangnya pengawasan secara real-time dari manusia, sulit untuk memonitor dan menghentikan sistem agen AI yang bermasalah tepat waktu.

Risiko keenam, ketergantungan ke pihak ketiga. AI Agentic yang sophisticated biasanya dioperasikan oleh pihak ketiga, yakni perusahaan-perusahaan yang mengkhususkan diri di bidang AI. Hal ini akan menambah ketergantungan ke pihak ketiga.

Setelah era AI Agentic, dunia diperkirakan akan memasuki era AGI/Artificial General Intelligence (AI yang memiliki kecerdasan setara manusia, dapat berpikir, memahami, dan belajar di berbagai domain tanpa batasan spesifik) serta ASI/Artificial Super Intelligence (AI yang jauh lebih cerdas daripada manusia dalam semua aspek, termasuk kreativitas, pengambilan keputusan, dan emosi).

Namun, kehadiran AGI dan ASI masih menjadi kontroversi. Di kalangan para saintis yang menggeluti AI maupun para pemikir tentang masa depan AI, eksistensi AGI dan ASI di masa depan masih menjadi big question mark (tanda tanya besar).

Pendukung narasi optimistis AI seperti Kurzweil percaya bahwa ASI akan terwujud, AI benar-benar akan lebih cerdas dari manusia.

Pendukung narasi kritis AI seperti Geoffrey Hinton, mengkhawatirkan AI yang seperti ini akan lepas kendali.

Pendukung narasi alternatif AI seperti Noam Chomsky percaya bahwa secerdas apa pun AI, khususnya LLM, sebenarnya dia hakikatnya tetap adalah mesin autofill super-cerdas. Dalam hal ini, bisa dibaca buku yang baru diterbitkan oleh ITB Press, “19 Narasi Besar AI”.

Baca juga: Mengelola Artificial Intelligence Melalui AI Governance dan Management System

Halaman:


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar di Artikel Lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
atau