Pengemudi ojol Affan Kurniawan disebut 'martir demokrasi' – Apakah aksi massa bakal membesar?

Sumber gambar, Antara
Kematian Affan Kurniawan, pengemudi ojek online yang ditabrak kendaraan taktis (rantis) polisi dalam demonstrasi di Jakarta pada Kamis malam (28/08), diyakini akan menjadi katalis aksi massa di Indonesia, kata sejumlah pengamat.
Protes bahkan dinilai dapat meluas ke isu yang lebih besar mengingat ketidakpuasan masyarakat sudah bermunculan di beragam sektor, mulai dari penurunan demokrasi, ekonomi yang melambat, dan sikap represif berulang aparat hukum dalam merespons kritikan.
"Public distrust luar biasa. Seluruh institusi mengecewakan. Kalau sudah begini, kemungkinan bisa ada semacam [tuntutan] tata ulang bernegara," kata Sosiolog Universitas Negeri Jakarta (UNJ), Ubedillah Badrun.
Penyebutan sosok Affan sebagai "martir demokrasi" juga bermunculan di media sosial, baik dari para tokoh politik, akademisi, maupun masyarakat umum.
Presiden Prabowo Subianto memang telah menyatakan prihatin atas kematian Affan dan membuat klaim pemerintah siap menanggung kehidupan seluruh anggota keluarga almarhum.
Namun, para pengamat menilai pernyataan Prabowo tersebut tidak tepat sasaran dan tidak akan mampu meredam kemarahan yang telah menjalar ke seluruh lapisan masyarakat.
Berpotensi meningkatkan protes masyarakat
Dalam pernyataan di rumah duka pada 29 Agustus, perwakilan keluarga menyebut sosok Affan Kurniawan sebagai tulang punggung keluarga.
Pria 21 tahun tersebut disebut kerap berangkat pukul 06.00 WIB saban hari untuk menambah pemasukan rumah tangga lantaran sang ayah bekerja serabutan.
Affan tinggal bersama tujuh anggota keluarga lain di sebuah rumah kontrakan dua kamar berukuran sekitar 30 meter persegi di kawasan Blora, Menteng, Jakarta Pusat.
"Almarhum [Affan] menjadi tulang punggung karena bapaknya juga kerja serabutan. Jadi, benar-benar menjadi tulang punggung. Maka, jam 6.00 WIB dia sudah jalan," kata Fachrudin, yang merupakan kakek Affan.

Sumber gambar, ANTARA FOTO/Fauzan
Ubedillah Badrun mengatakan, sosok Affan yang merepresentasikan masyarakat kelas pekerja Indonesia tersebut menjadi salah satu faktor pemicu meningkatnya kemarahan masyarakat.
Kondisi Affan tersebut kontras dengan keadaan para elite saat ini, seperti anggota Dewan Perwakilan rakyat (DPR) yang menikmati beragam tunjangan.
Belum lagi kejengahan masyarakat akibat sikap represif aparat hukum yang berulang, terang Ubedillah.
"Mau tidak mau itu memengaruhi psikologi publik. Ada akumulasi kemarahan. Eskalasi [aksi massa] akan naik," paparnya.

Sumber gambar, Antara Foto
Senada, sosiolog Universitas Gadjah Mada, Derajad Widhyharto, menyebut kematian Affan "otomatis meningkatkan skala protes masyarakat."
Menurutnya, sosok Affan yang menggambarkan kondisi kebanyakan masyarakat yang tertindas telah menyatukan banyak lapisan masyarakat. Sebaliknya, terang Derajad, para elite memiliki banyak previlese.
"Ada perasaan kesenjangan yang lebar. Ditambah, sikap wakil rakyat yang berjoget di acara DPR dan soal tunjangan yang besat," kata Derajad.
Derajad menyebut situasi nasional saat ini sudah dalam fase contentious politics atau politik konflik, ketika masyarakat dan pemerintah sudah saling berhadapan.
Andaikata rangkaian protes berlanjut hingga akhir pekan, Derajad menilai aksi massa bakal kian membesar. Tuntutan massa pun dinilai akan meluas ke isu lain.

Sumber gambar, ANTARA FOTO/Raisan Al Farisi
Liputan mendalam BBC News Indonesia langsung di WhatsApp Anda.
Klik di sini
Akhir dari Whatsapp
"Kalau bertahan sampai Minggu (31/08), ini bisa makin membesar dan ke mana-mana," ujar Derajad.
"Mungkin menjadi people power, tindakan kolektif. Karena masyarakat sudah jengah dengan sikap elite politik dan cara pemerintah merespons keluhan masyarakat."
Ia merujuk tuntutan pencopotan Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo yang kini bergaung.
Padahal, saat demonstrasi awal pada 25 Agustus, isu tersebut tidak menjadi tuntutan utama.
"Sudah bergeser dari tuntutan-tuntutan yang ada di awal dan mungkin akan meluas ke persoalan lain," kata Derajad.
Baca juga:
Ubedillah sependapat dengan Derajad, yang menilai kekecewaan masyarakat sudah menyasar semua lembaga pemerintahan, mulai kepresidenan, legislatif, yudikatif, hingga aparat hukum.
Akibatnya, tuntutan pun hampir pasti meluas dan merembet isu-isu lain.
"Akumulasi kekecewaan sudah luar biasa. Saya menangkap, protes akan berlanjut ke evaluasi mendasar bernegara," kata Ubedillah.
"Kalau sudah begini, kemungkinan bisa ada semacam [tuntutan] tata ulang bernegara."
'Martir demokrasi'
Sejumlah pihak di media sosial menyebut Affan sebagai martir demokrasi.
Pengamat Politik Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), Syamsuddin Haris, melalui akun media sosialnya menyebut Affan "martir dari kekuasaan yang congkak".
"Affan Kurniawan telah menjadi martir dari kekuasaan yg congkak dan aparat yg biadab. Sebagai bentuk pertanggungjawaban, Kapolri @ListyoSigitP harus mundur, atau Presiden @prabowo memberhentikannya," tulis Syamsuddin di media sosial X.
Ada pula akun yang menyebut, "Affan Kurniawan adalah martir! Martir untuk kesenjangan parah yang terjadi antara pejabat bersama kroni dengan rakyat di repiblik ini. Korban dari ketidakadilan sosial yang dipertontonkan secara brutal dan tak tahu malu."
Akun lain menuliskan, "...Affan Kurniawan, jadi martir perjuangan rakyat menuntut keadilan dari kehidupan mewah para anggota dewan pemalak rakyat dan kebijakan para petinggi negara..."
Baca juga:
Sosiolog Universitas Gadjah Mada, Derajad Widhyharto, tak menepis anggapan martir yang disematkan sejumlah orang kepada Affan.
"Meski secara tidak sengaja, ia berhasil menjadi simbol perlawanan yang menyatukan," ujar Derajad.
Menguatnya simbolisasi Affan sebagai martir itu, terang Derajad, juga disebabkan respons pemerintah yang buruk
Ia mencontohkan pernyataan Presiden Prabowo yang pada salah satu poinnya mengatakan akan memberikan santunan kepada keluarga Affan.
"Padahal bukan itu poinnya. Pernyataan itu [Prabowo] tidak menyelsaikan masalah kenapa masyarakat berdemonstrasi," ujar Derajad.
Bagaimana komentar koalisi masyarakat sipil?
Kematian pengemudi ojek online Affan Kurniawan sendiri memantik rangkaian aksi berbalut solidaritas di antero Tanah Air.
Di Jakarta, aksi terjadi di sejumlah titik, antara lain, di depan Mako Brimob di Kwitang, di depan Polda Metro Jaya, di depan gedung DPR, dan di depan Mabes Polri.
Aksi serupa juga berlangsung di Solo, Surabaya, dan Medan.
Berbagai persoalan kian terakumulasi dan puncaknya adalah kekerasan aparat yang terus berulang.
Berdasarkan catatan Komnas HAM, ratusan warga mengalami luka-luka akibat kekerasan aparat kepolisian dalam upaya pengendalian massa hanya dalam unjuk rasa pada Kamis malam (28/08).

Sumber gambar, ANTARA FOTO/Fauzan
Kelompok masyarakat sipil dalam pernyataan bersama pada Jumat (29/08) mengkritik tindakan aparat keamanan tersebut, menyebutnya sebagai "kekerasan negara".
Padahal, pemicu para warga turun ke jalan untuk protes dan demo disebabkan kebijakan negara yang tidak berpihak pada rakyat.
"Ditambah pernyataan pejabat publik yang memicu kemarahan dan keresahan. Ketidakpekaan pejabat publik kita, baik yang ada di parlemen maupun pemerintahan," kata peneliti Greenpeace, Khalisa Khalid, yang ikut dalam koalisi tersebut.
Khalisa juga menilai hal ini sebagai kegagalan negara dalam memastikan keamanan dan keselamatan bagi seluruh warga negara yang sedang menjalankan hak-hak warga negara, seperti menyatakan pendapat, pikiran, dan keresahan melalui aksi dan demo.
Selain itu, praktik dan brutalitas ini terus terjadi karena pembiaran dan impunitas yang seakan diafirmasi oleh kekuasaan tertinggi yakni presiden, lanjut Khalisa.

Sumber gambar, ANTARA FOTO/Ari Bowo Sucipto
Koordinator Kontras, Dimas Bagus Arya, bilang ada sebuah pola baru yang sering dilakukan kepolisian dalam merespons aksi penyampaian pendapat masyarakat di ruang publik dalam lima bulan terakhir.
"Tindakan kepolisian itu adalah pembiaran yang dilakukan oleh aparat negara dan tidak memperhatikan prinsip- prinsip hak asasi manusia dalam menjalankan kebebasan berpendapat dan berkumpul," ucap Dimas.
Berdasarkan catatan Kontras, sepanjang Agustus 2024-Agustus 2025, tercatat 55 orang meningga dunia akibat kekerasan oleh polisi.
"Baik di luar proses hukum atau korban salah tangkap," ujar Dimas.
Koalisi masyarakat sipil mencatat 600 pengunjuk rasa ditangkap dalam unjuk rasa semalam dan 351 orang ditangkap saat unjuk rasa 25 Agustus 2025.
Oleh karena itu, masyarakat sipil menyerukan evaluasi dan reformasi menyeluruh pada kepolisian sehingga praktik impunitas bisa dihentikan.