'Pemerintah pusat lepas tanggung jawab, pemda terjepit' – Mengapa gerakan warga disebut satu-satunya cara batalkan kenaikan pajak?

hukum, politik

Sumber gambar, AFP via Getty Images

Keterangan gambar, Ilustrasi. Spanduk berisi kritik terhadap pemerintah dipajang di sebuah bundaran di Jakarta, Desember 2024.

Setidaknya 104 daerah telah menaikkan Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan (PBB-P2)—20 daerah di antaranya menaikkan lebih dari 100%—menurut data Kementerian Dalam Negeri.

Kenaikan pajak itu belakangan ditunda di Pati, Jawa Tengah dan Bone, Sulawesi Selatan, menyusul unjuk rasa warga yang diwarnai tembakan gas air mata dan penangkapan oleh kepolisian.

Unjuk rasa seperti yang terjadi di Pati dan Bone memberi tekanan ke pemerintah daerah, yang kemudian memutuskan menunda kenaikan pajak PBB-P2, kata profesor ilmu politik di Universitas Gadjah Mada, Amalinda Savirani.

Gerakan warga yang masif dan berkelanjutan, menurut Amalinda, merupakan satu-satunya cara meninggikan posisi tawar masyarakat di hadapan pemerintah.

"Gerakan warga mengganggu keseharian dan roda pemerintahan sehingga pemerintah khawatir gerakan itu akan tereskalasi dan mengarah ke kondisi kaos," ujarnya.

Unjuk rasa menentang kenaikan pajak di Pati dan Bone juga diprediksi bisa memunculkan efek bola salju—menjalar ke daerah lainnya, kata peneliti di Badan Riset dan Inovasi Nasional, Wasisto Raharjo Jati.

"Hampir sebagian besar masyarakat tengah mengalami kelesuan ekonomi: pengangguran di mana-mana, PHK massal terjadi di berbagai tempat, dan daya beli masyarakat menurun.

"Di tengah kondisi yang sulit seperti sekarang, kalau ada kebijakan yang itu tidak positif dengan kondisi masyarakat, tentu akan menimbulkan priaria yang makin besar," ujar Wasisto.

Pertanyaannya, seberapa mungkin gerakan warga yang masif dan berkelanjutan muncul di berbagai daerah? Dan mengapa, dalam konteks kenaikan pajak daerah, desakan kepada pejabat lokal dianggap tidak cukup?

'Imbauan pusat tidak cukup'

Lewati Whatsapp dan lanjutkan membaca
Akun resmi kami di WhatsApp

Liputan mendalam BBC News Indonesia langsung di WhatsApp Anda.

Klik di sini

Akhir dari Whatsapp

Merujuk data yang dikatakan Wakil Menteri Dalam Negeri, Bima Arya Sugiarto, Selasa (19/08), 104 pemda telah menaikkan persentase PBB-P2.

Kepada pers di kantornya di Jakarta, Bima bilang Menteri Dalam Negeri, Tito Karnavian, baru-baru ini menerbitkan surat edaran kepada kepala daerah di tingkat kabupaten dan kota.

Berdasarkan Pasal 4 ayat 2 UU 1/2022 yang mengatur hubungan keuangan pemerintah pusat dan daerah, hanya pemerintah kabupaten dan kota yang berhak memungut PBB-P2.

Surat edaran yang disebut Bima berisi imbauan dari Tito agar bupati dan wali kota mengevaluasi kebijakan menaikkan PBB-P2.

"Kami yakin ada proses evaluasi menyeluruh agar pemerintah daerah betul-betul tidak mengeluarkan kebijakan yang bisa memberatkan rakyat," kata Bima.

Selain evaluasi, Bima berkata, kementeriannya mendorong pemerintah kota dan kabupaten mengupayakan pendapatan dari pajak-pajak lainnya.

Persoalannya, UU 1/2022 tidak memberi kewenangan kepada Kementerian Dalam Negeri untuk menahan pemda memungut atau menaikkan persentase pajak.

Bima Arya

Sumber gambar, Antara Foto

Keterangan gambar, Wakil Menteri Dalam Negeri, Bima Arya, menyebut lembaganya telah mengimbau bupati dan wali kota untuk tidak menaikkan pajak PBB-P2.

Di sisi lain pemda kini dalam posisi terjepit, kata profesor di Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik UGM, Amalinda Savirani.

Efisiensi anggaran yang diterapkan pemerintah pusat per tahun 2025, kata Amalinda, memaksa pemda memutar otak untuk mendapat sumber pendanaan.

Amalinda berkata, bagi pemda yang selama ini bergantung pada dana pusat—disebut dengan transfer ke daerah (TKD) dalam istilah keuangan negara—menaikkan pajak adalah solusi paling mudah.

"Kalau efisiensi ini tidak mendadak, pemerintah bisa bilang 'kalian siap-siap pikirkan alternatif pendapatan'.

"Ini kan tidak seperti itu. Pemda tidak ada ruang untuk memikirkan apa saja opsi pendapatan lain yang tersedia," kata Amalinda.

Tata cara efisiensi APBN 2025 dikeluarkan Menteri Keuangan Sri Mulyani, 29 Juli lalu. Pada peraturan itu, dana pemerintah pusat untuk pemda (TKD) menjadi target efisiensi, selain anggaran kementerian dan lembaga negara. Tujuannya, merujuk pasal 2 beleid itu, untuk mendukung program prioritas pemerintah.

TKD yang menjadi target efisiensi adalah yang biasanya digunakan untuk membiayai proyek infrastruktur serta pelayanan dasar seperti kesehatan dan pendidikan.

Selain itu, TKD untuk pelaksanaan otonomi khusus (Aceh dan Papua), keistimewaan (untuk Daerah Istimewa Yogyakarta), serta yang belum dirinci penggunaannya juga terkena efisiensi.

Mengapa dana pusat untuk pemda begitu vital?

Riset akademik yang ditulis ekonom Paul Smoke dari Massachusetts Institute of Technology dan Blane Lewis dari Harvard Institute for International Development mengulas sejarah desentralisasi fiskal—kebijakan penerimaan dan pengeluaran keuangan—pemerintah Indonesia.

Tulisan dua ekonom itu terbit di Jurnal World Development pada 1996.

Smoke dan Lewis menulis, pembiayaan untuk pelayanan publik di Indonesia sejak era kemerdekaan bergantung pada pemerintah pusat alias sangat sentralistik. Usulan untuk menghilangkan ketergantungan pemda kepada Jakarta itu kerap kandas atas pertimbangan politik, contohnya kekhawatiran pusat pada kelompok yang ingin memisahkan diri dari negara kesatuan.

Namun pada 1980-an, dorongan agar pemda menjadi independen soal keuangan itu kian deras, salah satunya, menurut Smoke dan Lewis, datang dari berbagai lembaga donor internasional yang menghibahkan bantuan uang ke Indonesia.

sri mulyani

Sumber gambar, Antara Foto

Keterangan gambar, Menteri Keuangan Sri Mulyani, Juli lalu, mengeluarkan peraturan efisiensi anggaran pemerintah pusat, termasuk dana transfer ke daerah (TKD).

Pada dekade itu hingga 1990-an, pertumbuhan ekonomi yang ditunjang industri manufaktur menggenjot urbanisasi di berbagai wilayah. Smoke dan Lewis mencatat, tren itu memicu harapan warga tentang layanan publik di perkotaan—yang kala itu tak bisa dipenuhi pemerintah pusat.

Pada pertengahan 1980-an, pendapatan pemerintah pusat menurun akibat harga minyak bumi yang merosot.

Situasi itu, menurut Smoke dan Lewis, mendorong wacana kemandirian keuangan pemda menguat. Faktor pendorong lainnya adalah citra Jakarta yang tercoreng berbagai persoalan, seperti kasus korupsi, transparansi keuangan yang minim dan proyek infrastruktur berbasis dana pinjaman yang mandek.

"Pemerintah pusat sadar mereka tak bisa secara efektif mendanai seluruh layanan publik di negara yang begitu luas, yang etnisitas warganya beragam," tulis dua ekonom itu.

"Muncul kesadaran di antara politikus dan birokrat senior di Jakarta bahwa pemda yang efektif secara fiskal tak akan mengancam kredibilitas pemerintah pusat," kata Smoke dan Lewis.

Namun desentralisasi fiskal itu baru terwujud setelah Orde Baru tumbang. Momennya adalah pengesahan UU 22/1999 tentang Pemda dan UU 25/1999 yang mengatur perimbangan keuangan pemerintah pusat dan pemda.

Untuk mewujudkan kemandirian fiskal pemda, pemerintah pusat sejak tahun 2001 berkomitmen mengalokasikan berbagai sumber pendanaan ke daerah.

Salah satu sumber pendanaan itu adalah dana transfer ke daerah (TKD), Dana inilah yang pada 2025 ini menjadi target efisiensi pemerintah pusat, untuk membiayai program prioritas Presiden Prabowo Subianto.

Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Kementerian Keuangan mencatat, TKD dari pusat ke pemda "meningkat sangat signifikan" setiap tahun sejak 2001. Selama dua dekade itu, menurut BKF, jumlah TKD naik 145,06%.

Selain TKD, pemda juga mendapat hak untuk mengambil pendapatan dari pajak dan retribusi.

pajak

Sumber gambar, Antara Foto

Keterangan gambar, Potret pengambilan nomor antrean untuk membayar PBB di Kantor Badan Pendapatan Daerah Kota Bandung, Jawa Barat, Rabu (20/08).

Merujuk UU 1/2022, pemerintah provinsi berhak memungut 7 jenis pajak, sedangkan pemerintah kabupaten/kota berhak atas 9 jenis pajak—satu di antaranya PPB-P2.

"Jadi akar persoalannya itu anggaran yang ditransfer dari Jakarta ke daerah (TKD)," kata Amalinda Savirani.

"Kenaikan pajak di daerah adalah reaksi terhadap tekanan fiskal itu. Daerah tidak punya duit sehingga harus mencari sumber duit lain.

"Ini seperti desentralisasi awal-awal dulu ketika pendanaan minim sehingga pemerintah memungut apa yang ada di depan mata, yaitu pajak," kata Amalinda.

'Gerakan warga jadi solusi'

Kenaikan PBB-P2 di 104 daerah, menurut Amalinda, menunjukkan pemerintah pusat yang "melepas tanggung jawab". Akibatnya, kata dia, pemda terjebak dalam opsi terbatas sementara warga kembali mendapat beban pajak.

Unjuk rasa seperti yang bergulir di Pati dan Bone disebut Amalinda menjadi satu-satunya cara warga membebaskan diri dari dampak kebijakan pemerintah ini.

"Gerakan warga sebagai tekanan untuk pemerintah adalah bagian dari demokrasi," kata Amalinda.

"Ini seperti parlemen rakyat atau parlemen jalanan yang memberikan tekanan secara langsung kepada pengambil kebijakan," ujarnya.

Walau begitu, Amalinda tak dapat memprediksi apakah gerakan warga di Pati dan Bone juga akan muncul di ratusan daerah lain yang mengalami kenaikan PBB-P2.

"Susah untuk memprediksi karena beberapa daerah itu tampak adem ayem dengan situasi ini," kata Amalinda.

unjuk rasa di Pati

Sumber gambar, AFP via Getty Images

Keterangan gambar, Warga berunjuk rasa terkait isu-isu seperti pengunduran diri bupati dan transparansi pemerintahan daerah, menyusul rencana kenaikan pajak bumi dan bangunan daerah sebesar 250 persen yang kini telah dibatalkan, di Pati, Jawa Tengah pada 13 Agustus 2025.

"Kalau melihat sejarah gerakan warga, di atas kertas sepertinya agak susah muncul gerakan yang sama seperti Bone dan Pati," tuturnya.

Namun Wasisto Raharjo Jati, peneliti BRIN, menilai unjuk rasa di Pati dan Bone berpotensi memicu efek bola salju. Alasannya, sebagian masyarakat kini menghadapi realitas serupa, dari dampak pelemahan ekonomi, pengangguran, pemecatan massal, hingga daya beli yang menurun.

"Dalam beberapa terakhir gerakan warga muncul karena konflik terkait sumber penghidupan atau ruang hidup, seperti penggusuran dan perampasan lahan," kata Wasisto.

"Tapi yang terjadi belakangan adalah gerakan warga merespon kebijakan yang mereka anggap tidak adil," ujarnya.

Apa syarat gerakan warga bisa meluas dan pengaruhi kebijakan?

Wasisto berkata, desentralisasi politik pasca-Orde Baru telah membuka ruang demokrasi di berbagai daerah. Berbagai kelompok swadaya masyarakat bermunculan dan melahirkan aktivis-aktivis lokal.

Tren tersebut disebut Wasisto memungkinkan setiap daerah membangun gerakan warga.

"Tapi harus diakui cara warga menyampaikan kritik di setiap daerah berbeda, ada yang konfrontatif, ada yang menggunakan jalan kekerasan, dan ada juga yang cenderung bernegoisasi atau menggunakan jalur lobi," ucapnya.

Setiap karakteristik itulah, menurut Wasisto, yang akan menentukan cara kritik dan hasil yang akan dicapai gerakan warga di suatu daerah.

Menurut Amalinda, setidaknya terdapat dua faktor yang dapat memicu gerakan warga. Pertama, kemarahan atau kekesalan warga.

"Dalam konteks hari ini faktor itu adalah pelambatan ekonomi, ditambah kenaikan PBB-P2 yang fantastis," ujarnya.

"Melihat situasi ekonomi ini, jika merujuk analisis ideal, akan banyak muncul protes warga di berbagai tempat," kata Amalinda.

politik, hukum

Sumber gambar, NurPhoto via Getty Image

Keterangan gambar, Ilustrasi. Sejumlah warga yang mengikuti Aksi Kamisan di depan kantor Wali Kota Malang, Jawa Timur, membawa bendera animasi One Piece, Kamis (21/08).

Namun faktor pertama tadi disebut Amalinda bergantung pada faktor kedua, yaitu sejauh mana kemarahan warga dapat diorganisir.

"Kalau cuma satu-dua orang, itu belum bisa disebut gerakan kolektif, tidak masif dan belum bisa memberi tekanan kepada pemerintah," ucapnya.

Merujuk unjuk rasa di Pati, Amalinda menilai gerakan warga tidak dikoordinasikan satu kelompok atau figur tertentu yang dominan. Artinya, menurut Amalinda, gerakan warga di Pati bersifat organik.

"Gerakan mereka tidak mengkultuskan individu. Penggeraknya menyebar di tengah warga itu sendiri. Jadi tidak ada pemimpin tunggal," ujar Amalinda.

"Jadi di Pati tiba-tiba ada banyak sekali kontribusi warga untuk mereka yang berunjuk rasa, dari sumbangan berkadus-kadus air mineral sampai yang menyumbang makanan," ucapnya.

Bagaimana gerakan warga di Bone bisa muncul?

Protes warga Bone, termasuk dari kelompok mahasiswa, selama ini jarang ditanggapi pemerintah. Ini dikatakan Rafli Fasyah, yang bergiat di Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) Bone.

Pada 19 Agustus lalu, Rafli menjadi salah satu penggerak Aliansi Rakyat Bone Bersatu yang menuntut Pemkab Bone membatalkan kenaikan PBB-P2.

Meski pejabat di Bone ditudingnya hampir tak pernah merespons protes warga, Rafli menyebut gerakan warga dan mahasiswa semestinya tidak lantas berhenti.

"Terakumulasilah keyakinan bahwa kami butuh gerakan yang lebih besar untuk memberikan tekanan secara psikologis, secara mental kepada pemerintah daerah," ujar Rafli, Rabu (20/08).

Gerakan warga yang konsisten, menurut Rafli, vital untuk menunjukkan "bahwa rakyat terus mengeluh atas kebijakan pemerintah dan bahwa aspirasi rakyat tidak terdengar sebelumnya".

Berbagai kelompok mahasiswa di Bone selama bertahun-tahun tercatat rutin turun ke jalan, memprotes kebijakan pemerintah daerah mereka.

Namun berbeda dengan sejumlah unjuk rasa sebelumnya yang dilakukan masing-masing kelompok mahasiswa, demo menentang kenaikan PBB-P2 pekan ini bersifat kolektif, kata Rafli.

Setidaknya terdapat HMI, Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia, dan Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah yang bergabung dalam demo di depan kantor Bupati Bone, 19 Agustus lalu.

"Kami berkoordinasi dan berkonsolidasi, lintas organisasi, bersepakat membuka Aliansi Rakyat Bone Bersatu," kata Rafli.

"Masing-masing dari kami membuka koordinasi, dari wilayah selatan, barat, timur dan utara Bone. Alhamdulilah masing-masing kecamatan mengirim perwakilan untuk membersamai aksi demo kemarin," ujar Rafli.

bone, demo, pajak

Sumber gambar, Detikcom

Keterangan gambar, Warga dan mahasiswa di Bone berunjuk rasa menentang kenaikan PBB-P2, 19 Agustus lalu.

Diwawancara terpisah, Suriani (38 tahun), seorang ibu rumah tangga berkata mendukung unjuk rasa menentang kenaikan PBB-P2. Dia menyebut demo itu telah memberi dampak nyata.

"Jelas demo itu mewakili harapanku supaya pajak tidak naik. Kalau ada waktu dan tidak mengurus anak, saya pergi demo, tapi karena tidak bisa, saya doakan dari rumah," kata Suriani.

Unjuk rasa ribuan mahasiswa dan warga di Bone diwarnai bentrokan selama 6 jam antara pendemo dan kepolisian.

Bukan hanya di depan kantor Bupati Bone, kericuhan menyebar lebih ke setidaknya lima titik lainnya. Aliansi Rakyat Bone Bersatu menyebut ada puluhan orang yang terluka dan 60 orang dari kelompok warga ditangkap polisi.

LBH Makassar mengecam kepolisian yang mereka sebut represif. Tembakan gas air mata kepolisian, menurut organisasi pemberi layanan hukum probono itu, bahkan masuk ke permukiman warga.

Kericuhan terjadi ketika massa pengunjuk rasa yang menuntut pembatalan kenaikan pajak bentrok dengan aparat di Kabupaten Bone, Sulawesi Selatan, Selasa, (19/08).

Sumber gambar, KOMPAS.COM/ABDUL HAQ YAHYA MAULANA T

Keterangan gambar, Kericuhan terjadi ketika massa pengunjuk rasa yang menuntut pembatalan kenaikan pajak bentrok dengan aparat di Kabupaten Bone, Sulawesi Selatan, Selasa, (19/08).

"Seharusnya protes ini ditanggapi secara demokratis, bukan dengan represif, menggunakan kekerasan dan senjata," begitu bunyi pernyataan LBH Makassar.

Kapolres Bone, AKBP Sugeng Setyo Budhi, menampik tuduhan respresif itu. Dia membuat klaim, personelnya telah memperingatkan kelompok warga untuk berunjuk rasa secara damai.

Namun, tuding Sugeng, kelompok warga yang berdemo disusupi kelompok anarko yang memicu kericuhan. Kebenaran atas tudingan Sugeng ini belum dapat diverifikasi.

Bagaimana pun, unjuk rasa itu telah mendorong Pemkab Bone menunda kenaikan PBB-P2.

"Kami akan kembali ke pajak sebelumnya, sampai kami melakukan kajian yang lebih mendalam lagi," kata pelaksana Sekretaris Daerah Bone, Andi Saharuddin, 19 Agustus lalu.

Bagaimana kronologi unjuk rasa dan kericuhan di Bone?

Demo ratusan orang yang tergabung dalam Aliansi Masyarakat Bone Bersatu dimulai di depan Kantor Bupati Bone, pada pukul 14.00 WITA, 19 Agustus lalu. Ketegangan meningkat sejak pukul 17.00 Wita, lantaran massa tidak kunjung ditemui oleh Bupati Bone, Andi Asman Sulaiman.

"Kami datang jauh-jauh ke sini, bahkan rela meninggalkan pekerjaan hanya untuk menyampaikan aspirasi. Tapi bupati dan wakil bupati tidak mau menemui rakyatnya. Di mana tanggung jawab mereka sebagai pemimpin?" kata koordinator aksi, Rafli Fasyah.

"Seharusnya mereka berdiri di depan rakyat, bukan bersembunyi di balik aparat. Kebijakan yang mereka keluarkan sudah menyengsarakan, tapi saat rakyat protes justru tidak mau mendengar langsung," tegasnya.

Demonstrasi di Bone

Sumber gambar, KOMPAS.COM/ABDUL HAQ YAHYA MAULANA T

Keterangan gambar, Kantor bupati Bone, Sulawesi Selatan dikelilingi kawat berduri terkait dengan rencana unjukrasa menolak kenaikan pajak hingga 300 persen.

Guna membubarkan massa, kepolisian menembakkan gas air mata sekitar pukul 18.30 Wita. Alih-alih bubar, massa membalas dengan melemparkan botol air mineral dan batu, menurut wartawan Darul Amri yang melaporkan untuk BBC News Indonesia.

Bentrokan fisik pecah saat massa pengunjuk rasa menerobos masuk ke halaman kantor bupati Bone dengan menjebol kawat berduri dan merobohkan pagar kantor bupati.

Aparat gabungan TNI-Polri dan Satpol PP yang berjaga langsung membentuk barikade dengan tameng untuk menghalau massa agar tidak masuk ke dalam gedung kantor bupati.

Dalam bentrokan ini, baik massa aksi maupun polisi dan anggota Satpol PP mengalami luka-luka-luka. Beberapa di antara mereka dilarikan ke rumah sakit.

Hingga pukul 22.20 Wita bentrokan meluas ke gang-gang kecil atau jalan-jalan alternatif di sekitaran kantor bupati.

"[Kondisi] belum kondusif," kata Zul, salah satu aktivis mahasiswa di Kabupaten Bone kepada wartawan Darul Amri di Sulawesi Selatan, pukul 23.10 Wita.

Apa respons Pemkab Bone?

Kepala Dinas Kominfo Bone, Anwar, menyebut bupati dan wakil bupati sedang berada di luar kota.

Dia juga membantah isu kenaikan PBB-P2 hingga 300%.

"Kenaikan PBB-P2 di Bone itu tidak mencapai 300%, itu hoaks. Kenaikannya hanya 65 persen," ujarnya.

PBB-P2 naik drastis di sejumlah daerah

Bone bukan daerah pertama yang menaikkan PBB-P2.

Di Pati, Jawa Tengah, unjuk rasa terkait kenaikan PBB-P2 berujung tuntutan agar Sudewo, orang nomor satu di kabupaten itu, mundur.

Di Cirebon, Jawa Barat, kelompok yang menamai diri Paguyuban Pelangi Cirebon mengklaim telah melakukan langkah-langkah penolakan kenaikan PBB-P2 sejak 2024.

Mereka mengaku sudah rapat dengar pendapat dengan parlemen, turun ke jalan, mengajukan judicial review hingga membuat laporan ke Presiden Prabowo Subianto dan Kementerian Dalam Negeri.

Sejumlah pakar meyakini ini karena dana transfer ke daerah (TKD) dipangkas pemerintah pusat. Dengan demikian pemerintah daerah harus cari akal mencari pendapatan baru.

"Cara yang paling gampang untuk mencari pendapatan ya menaikkan pajaknya," kata Herman Suparman, direktur eksekutif Komite Pemantauan Pelaksanaan Otonomi Daerah (KPPOD).

Tahun ini, pemerintah melakukan efisiensi anggaran, salah satunya memangkas TKD sebesar Rp50,29 triliun.

Banyak anggaran dipangkas demi program yang disebut "berdampak langsung pada masyarakat" seperti Makanan Bergizi Gratis (MBG), swasembada pangan dan energi, hingga perbaikan sektor kesehatan.

Akan tetapi, Menteri Sekretaris Negara (Mensesneg) sekaligus juru bicara presiden, Prasetyo Hadi, membantah kenaikan PBB-P2 di daerah karena kurangnya alokasi anggaran dari pemerintah pusat.

"Tidak ada penyebabnya karena itu, bukan ya [kurang anggaran dari pusat]. Itu kan memang kebijakan-kebijakan setiap pemerintah daerah, dan memang berbeda-beda antara satu kabupaten dengan kabupaten yang lainnya," kata Prasetyo.

Darul Amri, wartawan di Makassar, berkontribusi untuk liputan ini