Viral pria diduga intel TNI ditangkap Brimob – Apa peran intelijen dalam gelombang demonstrasi?

Sumber gambar, Reuters

Keterangan gambar, Foto ilustrasi: Sejumlah personel TNI disiagakan di Jakarta, pada 1 September 2025.

Insiden penangkapan seorang pria yang diduga intelijen TNI oleh polisi di tengah massa demonstrasi pada 30 Agustus lalu memantik kecurigaan publik. Dugaan keterlibatan militer dalam unjuk rasa beberapa hari terakhir terus diperbincangkan.

Dugaan itu telah dibantah Juru Bicara TNI, Brigjen Freddy Ardianzah. Dia membuat klaim, kabar itu bohong dan menyesatkan sekaligus membuat citra TNI buruk.

Pakar politik dan keamanan Muradi menyebut kejadian saling tangkap anggota intelijen seperti "lucu" serta menunjukkan jeleknya koordinasi antara Polri dan TNI.

Dalam beberapa peristiwa, kata Muradi, keberadaan intel tidak hanya memata-matai pihak yang berseberangan dengan pemerintah, tapi juga turut andil membelokkan agenda tuntutan pendemo.

Apa fungsi intelijen dan apa peran mereka dalam aksi-aksi demonstrasi?

Viral intel TNI ditangkap Brimob

Di sela-sela rangkaian aksi demonstrasi masyarakat di beberapa daerah, sebuah foto memperlihatkan anggota Brimob "merangkul" seorang laki-laki yang dituduh sebagai provokator.

Pria bertubuh kurus itu mengenakan kaos berkerah berwarna hijau dan celana panjang abu-abu.

Kartu identitas pria itu berwarna oranye bertuliskan 'Markas Besar Tentara Nasional Indonesia Badan Intelijen Strategis'.

Di bagian bawah menerangkan identitas si pemilik kartu, mulai dari nama, pangkat, jabatan, rekomendasi, jenis senjata, tipe senjata, dan nomor kaliber.

Pojok kanan kartu tertera nama dan tanda tangan dari Kepala Badan Intelijen Strategis TNI.

Hentikan X pesan
Izinkan konten X?

Artikel ini memuat konten yang disediakan X. Kami meminta izin Anda sebelum ada yang dimunculkan mengingat situs itu mungkin menggunakan cookies dan teknologi lain. Anda dapat membaca X kebijakan cookie dan kebijakan privasi sebelum menerima. Untuk melihat konten ini, pilihlah 'terima dan lanjutkan'.

Peringatan: BBC tidak bertanggung jawab atas konten situs eksternal

Lompati X pesan

Pada video yang viral lainnya, nampak beberapa anggota Brimob "mengapit" seorang pria bertubuh gempal mengenakan kaos hitam yang dianggap sebagai perusuh.

Di samping kepala laki-laki itu, polisi memegang sebuah kartu berwarna biru bertuliskan 'Tentara Nasional Indonesia, Kartu Tanda Prajurit TNI'.

Bagian bawah kartu tertulis nama, pangkat, jabatan, kesatuan.

Viralnya foto-foto itu memicu spekulasi liar di antara warganet: apakah ada keterlibatan militer dalam rentetan kerusuhan yang berlangsung di beberapa tempat?

TNI bantah anggotanya ditangkap

Sumber gambar, ANTARA FOTO/Raisan Al Farisi

Keterangan gambar, Foto ilustrasi: Anggota TNI merapikan tameng saat melakukan pengamanan di Gedung Sate, Bandung, Jawa Barat, Senin (1/09).

Wakil Panglima TNI, Tandyo Budi Revita, tak tegas menjawab dugaan adanya anggota intelijen TNI yang ditangkap Brimob Polri saat kericuhan aksi demonstrasi mahasiswa dan masyarakat pada Sabtu (30/08).

Ia mengatakan kalaupun peristiwa itu benar terjadi, maka identitas si intelijen semestinya tidak disebarkan ke publik.

"Begitu ini [intelijen] ditangkap kemudian keluar seperti itu, harusnya yang menangkap itu tidak menyebarkan, karena kan intelijen," tukas Wakil Panglima TNI Tandyo Budi Revita, Senin (01/09).

Sumber gambar, ANTARA FOTO/Dhemas Reviyanto

Keterangan gambar, Pimpinan TNI menyampaikan keterangan pers bersama pimpinan Komisi I DPR, Senin (01/09).
Lewati Whatsapp dan lanjutkan membaca
Akun resmi kami di WhatsApp

Liputan mendalam BBC News Indonesia langsung di WhatsApp Anda.

Klik di sini

Akhir dari Whatsapp

Tandyo juga bilang kehadiran TNI dalam kegiatan pengamanan aksi demonstrasi justru "untuk membantu Polri meredam situasi agar kondusif".

Dia pun memastikan TNI tunduk pada konstitusi yang berlaku dalam menjalankan tugas.

"Saya sampaikan, namanya orang memberikan informasi itu kita harus tunduk di dalam ya. Itu kita ikut mereka, kegiatan mereka [Polri]."

Di tempat terpisah, Kepala Pusat Penerangan TNI, Brigjen Freddy Ardianzah, mengklaim tidak ada prajuritnya yang ditangkap kepolisian selama rangkaian aksi unjuk rasa di Jakarta.

Ia juga menyebut tidak ada anggotanya yang menjadi provokator massa aksi beberapa hari terakhir.

"Kami sangat menyayangkan framing negatif terhadap TNI, dan menindaklanjuti hal tersebut perlu saya tegaskan bahwa tidak ada anggota TNI yang ditangkap Polri maupun menjadi provokator dalam peristiwa tersebut," ujar Kapuspen TNI Freddy Ardianzah dalam keterangannya, Minggu (31/08).

"Itu narasi bohong dan menyesatkan," sambungnya.

Bagaimana intel TNI bisa ketahuan?

Pakar politik dan keamanan, Muradi, menerangkan dalam aksi demonstrasi besar yang berlangsung di sejumlah wilayah di Indonesia, pihak Polri maupun TNI pasti menerjunkan personel intelijen mereka.

Tujuannya sebagai "deteksi" keamanan.

"Kalau ada unjuk rasa, Polri dan TNI akan mengirim intel mereka untuk membaca situasi apakah ada potensi mengarah ke gangguan keamanan yang lebih besar," ujar Muradi kepada BBC News Indonesia, Rabu (03/09).

"Kemudian mereka akan membaca adakah gerakan-gerakan yang bisa mereka antisipasi?" imbuhnya.

Di situ, menurutnya, intelijen biasanya akan membaur dengan massa atau masyarakat.

Sumber gambar, breakermaximus via Getty Images

Keterangan gambar, Ilustrasi agen intelijen.

Saat aksi demonstrasi meletus di depan gedung DPR RI sejak Senin (25/08), Muradi menduga Polri tidak menyangka bahwa situasinya akan merembet ke daerah-daerah lain dan berujung pada pembakaran markas polisi hingga penjarahan.

Sehingga perkiraannya, Polri tidak berkoordinasi dengan institusi lain seperti TNI.

"Koordinasinya mungkin hanya sebatas Bantuan Kendali Operasi (BKO), perbantuan yang sewaktu-waktu diperlukan. Sementara kalau intelijen itu prosesnya sebelum dan ketika pelaksanaan," paparnya.

Karena, kata Muradi, kalau ada koordinasi maka masing-masing intelijen akan saling mengetahui "kode atau sandi" mereka. Dengan begitu, tidak bakal ada insiden salah tangkap.

"Ini kan enggak, malah dipukuli, ditelanjangi, baru kemudian dicek ternyata anggota. Yang kayak gitu harusnya perlu ada koordinasi."

Baca juga:

"Jadi asumsi saya simpel, kalau terjadi miskoordinasi di lapangan, saya menduga dan kelihatannya betul bahwa memang tidak ada koordinasi secara efektif antara mereka, antara intelijen itu sendiri."

Muradi juga menjelaskan dalam setiap aksi unjuk rasa besar di Indonesia, peran intelijen tak cuma memata-matai. Tapi, ada kalanya turut membelokkan agenda yang hendak dituju oleh pendemo.

Pada aksi protes yang berlangsung baru-baru ini, Muradi melihat ada upaya ke arah sana dengan menyudutkan para demonstran sebagai perusuh atau anarkis.

Untuk itulah dugaannya sengaja diciptakan situasi kerusuhan, pengrusakan fasilitas umum, hingga penjarahan. Padahal sedari awal publik hanya memprotes soal tunjangan anggota DPR.

"Agenda itu akhirnya dibelokkan jadi kriminalitas," cetusnya.

"Contoh lain misalnya ada teman-teman intelijen di perburuhan. Para buruh punya beberapa isu yang didorong, tapi oleh intelijen bisa saja difokuskan ke satu isu."

Sumber gambar, Richard Drury via Getty Images

Keterangan gambar, Ilustrasi agen intelijen.

Pengalamannya ketika demonstrasi 1998, ikut menguatkan sangkaan itu.

Kala itu salah satu isu yang didorong adalah mendesak lengsernya mantan Presiden Soeharto.

"Di lapangan saya melihat dia [intel] dari faksi tentara yang juga ingin Soeharto jatuh. Nah yang begitu-begitu kan memungkinkan," ujarnya.

"Bagi saya normal saja [ada intel bikin kericuhan]. Karena ketika massa terprovokasi, akhirnya masuk ke ranah pidana, terjadi pembelokan agenda supaya berhenti [isunya]," tambahnya.

"Jadi kalau ditanya apakah ada oknum [intel]? Pasti ada," sebutnya.

Apa peran intelijen?

Dalam konteks keamanan, intelijen berfungsi sebagai early warning system atau penginderaan awal. Hal itu tertuang dalam buku berjudul Negara, Intel, dan Ketakutan yang diterbitkan oleh PACIVIS, Center for Global Civil Society Studies yang diterbitkan pada Agustus 2006.

Karenanya tugas mereka adalah mengumpulkan, menganalisis, dan memberikan informasi yang diperlukan kepada pembuat kebijakan dalam pembuatan sebuah keputusan.

Dalam kondisi damai, intelijen menjalankan aktivitasnya sesuai dengan aturan dan norma yang berlaku—yang berada dalam sebuah kerangka kerja organisasi negara yang demokratik.

Mereka berburu informasi yang berfungsi sebagai instrumen pendukung perwujudan kepentingan nasional bangsa yang bersangkutan.

Sementara itu, intelijen dalam masa perang adalah intelijen yang aktivitasnya kemungkinan besar melanggar aturan atau kerangka organisasi demi mencari informasi yang spesifik agar bisa mewujudkan tujuan perang yakni memenangkan peperangan.

Sederhananya, kata pakar politik dan keamanan Muradi, intelijen berperan sebagai deteksi.

"Misalnya ada massa mau demonstrasi ke DPR dan ada pihak yang tidak suka dengan aksi itu. Si intelijen ini membaca ada potensi bentrokan," ujar Muradi kepada BBC News Indonesia.

"Intel tersebut kemudian melaporkan ke atasannya. Oleh pembuat keputusan akan dibuat antisipasi agar tidak terjadi bentrok dengan membelokkan arah massa ke tempat lain."

Apa kerja intelijen?

Secara umum ada empat kerja-kerja intelijen: pengumpul informasi, proses, menjalankan misi, dan organisasi.

Sebagai pengumpul informasi, intelijen berburu data atau keterangan yang lebih mendalam mengenai kondisi politik dan militer di seluruh dunia. Sebagian besar informasi tersebut diperoleh melalui sumber terbuka seperti jurnal ilmiah, sumber internet, artikel, koran, laporan diplomatik, laporan keuangan, kajian kontrak, dan lainnya.

Dalam hal proses, kegiatan intelijen dimulai dengan perencanaan mengenai informasi yang ditargetkan, berlanjut pada pengumpulan informasi, kemudian informasi tersebut dikelola dan diproses, dipelajari dan dianalisis, setelah menjadi "produk yang siap guna" kepada pengguna akhir yaitu presiden.

Intelijen yang menjalankan misi diistilahkan dengan agen rahasia yang tujuan akhirnya adalah intervensi terhadap urusan dalam negeri negara lain.

Muradi berkata anggota intelijen yang belakangan dikenalnya tak pernah membawa kartu identitas. Bahkan keluarga intinya—orang tua, istri maupun anak—tidak mengetahui pekerjaan yang sebenarnya.

Di Indonesia, klaimnya, masih dijumpai "intel melayu" yang disebutnya mengantongi kartu anggota.

"Jadi ya risiko kalau ketahuan," selorohnya.

Apa penyebab kegagalan operasi intelijen?

Disebutkan dalam buku tersebut, ada berbagai faktor mengapa operasi intelijen gagal.

Pertama, ketidakmampuan petugas intelijen melaksanakan perannya di lingkungan yang tidak dikenal (human failure).

Kedua, kegagalan mengorganisasikan dan mengkoordinasikan informasi beserta analisis informasi yang berasal dari berbagai dinas intelijen.

Ketiga, keterbatasan sumberdaya untuk mengumpulkan, menerjemahkan, dan menganalisis informasi.

Keempat, kegagalan pemimpin politik untuk memahami makna dan keterbatasan intelijen.

Kelima, politisasi (merekayasa) produk intelijen, agar sesuai dengan keinginan pemimpin politik.

Keenam, analisis dilakukan berdasarkan kepercayaan terhadap sesuatu yang seolah-olah benar (wishful thinking as self delusion).

Terakhir, ego-sentris dan hubungan kerjasama yang tidak berjalan baik antara petugas intelijen dengan pembuat kebijakan.