Sepuluh orang meninggal dalam gelombang demonstrasi – 'Negara harus menjawab tuntutan masyarakat'

Keluarga memegang potret mendiang Rusdam Diansyah, pengemudi ojek daring yang dikabarkan tewas setelah dikira sebagai anggota intelijen polisi saat unjuk rasa di Makassar, Sulawesi Selatan, pada 1 September 2025.

Sumber gambar, AFP via Getty Images

Keterangan gambar, Keluarga memegang potret mendiang Rusdam Diansyah, pengemudi ojek daring yang dikabarkan tewas setelah dikira sebagai anggota intelijen polisi saat unjuk rasa di Makassar, Sulawesi Selatan, pada 1 September 2025.

Setidaknya sepuluh orang kehilangan nyawa pada gelombang demonstrasi akhir Agustus lalu, sebagian diduga karena kekerasan aparat. Pengusutan terhadap aparat yang terlibat, termasuk reformasi kepolisian harus dijalankan pemerintah, kata para pegiat hak asasi manusia.

"Negara harus segera memenuhi semua tuntutan masyarakat dalam unjuk rasa sebelum jatuh korban lebih jauh," ujar Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia, Usman Hamid.

Ketua Komnas HAM, Anis Hidayah menyebut situasi saat ini mengkhawatirkan, terutama karena kekerasan aparat yang terus terjadi sepanjang aksi unjuk rasa.

"Aksi yang terjadi ini merupakan akumulasi karena ruang dialog yang sangat sempit. Ketika masyarakat ingin menyampaikan persoalan yang dihadapinya dengan kesulitannya, ruang seperti ada tersedia tapi tidak mudah diakses," ujarnya dalam jumpa pers di Jakarta, Selasa (02/09).

Presiden Prabowo Subianto dalam beberapa hari terakhir mengulang perintahnya agar aparat "menindak tegas" pada para pendemo yang mereka anggap anarkis. Dia mengaitkan pula unjuk rasa itu dengan tuduhan makar dan terorisme.

Prabowo meminta Kapolri menaikkan pangkat "polisi yang terluka" akibat demo.

Selain korban meninggal, data YLBHI mencatat setidaknya 1.042 orang dilarikan ke rumah sakit di Jakarta, Semarang, Yogyakarta, Bali, Bandung, Medan, Sorong, dan Malang. Mereka mengalami luka dan cedera akibat kekerasan aparat, berupa kekerasan fisik dan efek gas air mara.

Angka itu, menurut YLBHI, tidak termasuk mereka yang disiksa ketika ditangkap polisi.

Beberapa kerabat korban pun menceritakan rangkaian pemukulan dan pengeroyokan yang diduga dilakukan aparat. Akibat yang terjadi, dari patah tulang hingga kematian yang menimpa anggota keluarganya.

’Tulang punggung keluarga’

Kedua tangan Saerah, 51 tahun, terus menggenggam erat foto putranya, Rusdam Diansyah alias Dandi yang tewas dikeroyok sejumlah massa di depan kampus Universitas Muslim Indonesia di Jalan Urip Sumoharjo, Makassar, Sulawesi Selatan, 29 Agustus lalu.

Dandi, pria berusia 26 tahun itu dipukuli massa karena dituduh sebagai intel.

Adik ipar Dandi, Reza, menyebut suara Saerah hilang karena terus menangis setelah Dandi dinyatakan meninggal. Dandi telah dimakamkan di pemakaman Panaikang, Panakkukang, Makassar, satu hari setelah dia dihakimi massa.

"Itu malam, saat Dandi kritis, ibu sudah tidak ada suara, menangis terus. Saya pun marah bercampur sedih, saya tidak pandang siapa itu, saya marah itu, siapapun didepanku, saya marah, itu kacau," kata Reza saat ditemui di rumah duka.

Keluarga memegang potret mendiang Rusdam Diansyah, pengemudi ojek daring yang dikabarkan tewas setelah dikira sebagai anggota intelijen polisi saat unjuk rasa di Makassar, Sulawesi Selatan, pada 1 September 2025.

Sumber gambar, AFP via Getty Images

Keterangan gambar, Keluarga memegang potret mendiang Rusdam Diansyah, pengemudi ojek daring yang dikabarkan tewas setelah dikira sebagai anggota intelijen polisi saat unjuk rasa di Makassar, Sulawesi Selatan, pada 1 September 2025.

Sebelum dihakimi massa, Dandi sempat mengabari keluarganya bahwa dia diajak rekannya pergi menonton demonstrasi mahasiswa.

"Itu jam delapan malam lewat dua menit, waktu itu saya sudah di tempat kerja, saya dihubungi lewat ponselnya. Katanya, Dandi kecelakaan tapi saya tidak percaya, karena dari berbagai informasi, anak ini dikeroyok," kata Reza.

"Sebenarnya, ini anak itu hari kan libur karena dipikir Makassar macet akibat demo. Itu hari juga sudah dilarang sama bapak, tapi dia ke rumah tantenya itu dan mungkin ada temannya ajak," ucap Reza.

Dandi selama ini merupakan tulang punggung keluarga dengan menjadi pengemudi ojek online lebih dari tujuh tahun.

"Dia ini anak yang pekerja keras, tidak pernah itu saya dengar dia mengeluh, kalau mau bilang dia tulang punggung keluarga juga," kata Reza.


Pengunjuk rasa melihat fasilitas dan gedung DPRD Sulawesi Selatan yang dilalap api saat aksi 29 Agustus di Makassar, Sulawesi Selatan, Sabtu (30/8/2025) dini hari.

Sumber gambar, ANTARA FOTO/Arnas Padda

Keterangan gambar, Pengunjuk rasa melihat fasilitas dan gedung DPRD Sulawesi Selatan yang dilalap api saat aksi 29 Agustus di Makassar, Sulawesi Selatan, Sabtu (30/8/2025) dini hari.

Ayah Dandi, Rustam, mengaku masih mengingat kata-kata terakhir sebelum putranya pergi menonton demo di depan kampus UMI.

"Pak itu motor saya, sudah saya cuci itu. Ini kuncinya, motornya saya tidak mau pakai lagi, ada teman yang jemput saya," ujar Rustam.

Selain Dandi, ada tiga orang lain yang juga menjadi korban meninggal di Makassar sepanjang gelombang aksi.

Mereka adalah Muhammad Akbar Basri atau Abay yaitu staf Humas DPRD Kota Makassar, Syahrina Wati yakni staf DPRD Kota Makassar, dan Syaiful Akbar yaitu Plt Kasi Kesra Kecamatan Ujung Tanah.

Abay dan Syahrina terjebak dalam gedung dan ditemukan setelah api dipadamkan.

Syaiful disebut melompat dari lantai empat gedung ketika kebakaran membesar.

Saat ini terdapat tujuh korban yang masih dirawat intensif di beberapa rumah sakit di Makassar.

Seorang ibu di tengah aksi demonstrasi

Sumber gambar, AFP via Getty Images

Keterangan gambar, Seorang ibu di tengah aksi demonstrasi

’Patah tulang, cedera kepala, hingga meninggal’

Karangan bunga bertuliskan "Turut Berduka Cita Atas Wafatnya Rheza Sendy Pratama dari Keluarga Besar Amikom Yogyakarta", disandarkan pada tembok pagar di salah satu gang yang tidak jauh dari rumah duka di Mlati, Sleman, Yogyakarta, Minggu malam (31/08).

Suasana rumah duka pun mulai lengang. Para pengantar jenazah yang sebagian besar Mahasiswa Amikom telah meninggalkan lokasi.

Namun, masih ada satu per satu pihak yang datang, berjalan kaki masuk ke lorong sempit untuk menemui Yoyon Surono, 45, dan Heni Marvina, 41, menyampaikan ungkapan bela sungkawa atas peristiwa naas yang menimpa anak sulung dari dua bersaudara.

Rheza menjadi korban dalam unjuk rasa saat massa bentrok dengan polisi di Mapolda DIY.

Ia sempat dibawa ke Rumah Sakit Umum Pusat (RSUP) Dr. Sardjito untuk menerima perawatan tapi ia mengembuskan nafas terakhir pada Minggu (31/08) pagi.

Heni Marvina dan Yoyon Surono adalah orang tua dari,  Rheza Sendy Pratama mahasiswa yang meninggal saat ikut aksi di sekitar Polda DIY, Yogyakarta, 31 Agustus silam.

Sumber gambar, detik/Jauh Hari Wawan

Keterangan gambar, Heni Marvina dan Yoyon Surono adalah orang tua dari, Rheza Sendy Pratama mahasiswa yang meninggal saat ikut aksi di sekitar Polda DIY, Yogyakarta, 31 Agustus silam.

Yoyon mengungkapkan kebingungan dan kesusahan mereka untuk memahami kejadian ini.

Ia masih tak menyangka mendapati anaknya dalam "kondisi tidak karuan", katanya kepada perwakilan satuan tugas anti-kekerasan Amikom yang datang berkunjung di rumah duka.

Yoyon dan Heni menerima informasi tentang Rheza berada di kamar mayat rumah sakit sekitar pukul 10.00 WIB.

Mereka mendatangi rumah sakit dan langsung menemui dokter dan perawat, yang menunjukan anaknya telah terbujur kaku tidak bernyawa.

Dokter yang menerima mereka menjelaskan Rheza diantar oleh dua orang dari Dinas Kesehatan Polda DIY. Dokter juga mengaku telah memberikan penanganan terbaik, tapi nyawa Rheza tak tertolong.

Yoyon kemudian menerima ponsel milik anaknya dan satu sisir kecil.

"Saya tanya, KTP-nya mana? Dompet juga enggak ada. Lah terus tadi yang ngabarin pakai foto KTP itu mana?," ujar Yoyon menceritakan ulang sambil masih merasa bingung.

Namun agar proses berjalan cepat, Yoyon bergegas membuat surat pernyataan sebagai syarat untuk bisa mengambil jenazah anaknya.

"Surat tanda tangan kalau pernyataan kita itu tidak menghendaki autopsi dan juga tentang kejadian di ringroad itu adalah istilahnya musibah, seperti itu, dan yang keduanya itu kita tidak menuntut menurut dari Polda DIY," kata Yoyon, sembari istrinya memperlihatkan dokumentasi surat pernyataan itu.

Ketika memandikan jenazah Rheza, Yoyon mendapati tubuh Rheza luka-luka parah. Ada bekas luka seperti sabetan di bagian tubuh dengan luka bocor di beberapa area. Bekas sepatu besar terlihat jelas di beberapa bagian tubuh.

Pengunjuk rasa meneriakkan yel-yel saat aksi di Polda DIY, Jumat (29/08).

Sumber gambar, ANTARA FOTO/Andreas Fitri Atmoko

Keterangan gambar, Pengunjuk rasa meneriakkan yel-yel saat aksi di Polda DIY, Jumat (29/08).
Lewati Whatsapp dan lanjutkan membaca
Akun resmi kami di WhatsApp

Liputan mendalam BBC News Indonesia langsung di WhatsApp Anda.

Klik di sini

Akhir dari Whatsapp

Ada lebam-lebam di tangan dan punggung, patah tulang, dan bagian belakang tubuh menunjukkan luka seperti akibat terseret di aspal.

Wajah Rheza juga tampak seperti terkena sesuatu yang putih-putih, kotor, dan terdapat juga luka merah kehitaman yang diduga bekas pukulan.

"Kami belum ada instruksi juga dari Pak Wakil Rektor III (Bidang Kemahasiswaan Amikom), Ahmad Fauzi," kata perwakilan satuan tugas anti-kekerasan Amikom yang enggan menyebut namanya usai merespon cerita orang tua korban.

Mengenai sosok Rheza yang terekam dalam video amatir singkat berdurasi 34 detik, Heni membenarkan anaknya yang mengendarai motor trail dalam situasi pengamanan unjuk rasa.

Saat itu, Rheza yang mengenakan celana panjang hitam dengan baju dikenakan menutupi wajah, mengendarai motor membonceng rekannya yang membawa sebilah kayu.

Mereka datang dari arah barat ke arah timur mendekati barikade pengamanan polisi di depan Mapolda DIY.

Namun, korban tidak berhasil menyelamatkan diri dari petugas yang ramai menerjang menggunakan tembakan gas air mata, sementara rekan korban terlihat berlari menyelamatkan diri dari kejaran petugas.

Pengunjuk rasa yang tergabung dalam Aliansi UIN Menggugat melakukan aksi teatrikal di Simpang Tiga UIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta, Sabtu (30/08).

Sumber gambar, ANTARA FOTO/Andreas Fitri Atmoko

Keterangan gambar, Pengunjuk rasa yang tergabung dalam Aliansi UIN Menggugat melakukan aksi teatrikal di Simpang Tiga UIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta, Sabtu (30/08).

Pasca kejadian pada Minggu pagi itu, puing-puing sisa bentrok masih bertebaran di depan Mapolda DIY disertai asap kabut pekat gas air mata.

Polisi juga masih berlalu-lalang dan merazia siapa saja yang melintas bersepeda motor karena diduga bagian dari pelaku demonstrasi.

Ponsel Riza Salman, wartawan yang melaporkan untuk BBC News Indonesia, sempat dirampas polisi. Mereka memaksa Riza memperlihatkan galeri fotonya.

Petugas berseragam dengan alat pengamanan lengkap itu juga kemudian memaksa Riza menghapus foto para pengendara motor yang tengah diinterogasi.

Aksi demonstrasi di Indonesia telah berlangsung dari 25-31 Agustus 2025

Sumber gambar, Getty Images

Keterangan gambar, Aksi demonstrasi di Indonesia telah berlangsung dari 25-31 Agustus 2025.

Kematian yang penuh kejanggalan

Di Semarang, Iko Juliant Junior juga dinyatakan meninggal Minggu (31/08) setelah dirawat di RS Kariadi. Polisi mengklaim kematian pemuda berumur 20 tahun itu akibat kecelakaan, namun mahasiswa Universitas Negeri Semarang (Unnes) itu meninggal dunia dengan penuh kejanggalan.

Informasi dari ibu Iko yang disampaikan lewat Naufal Sebastian dari Ikatan Keluarga Alumni Fakultas Hukum Unnes menyebutkan Iko yang dalam kondisi kritis sempat mengigau agar tidak lagi dipukuli oleh aparat.

Tim Hukum dari PBH IK Alumni FH Unnes, Ady Putra Cesario, mengatakan Iko meninggalkan rumah untuk pergi ke kampus pada Sabtu (30/08) pada pukul 17.00 WIB.

Keesokan hari pada Minggu (31/08) sekitar pukul 11.00 WIB, keluarga mendapat kabar bahwa Iko dalam kondisi kritis dan dirawat di RSUP dr. Kariadi.

Saat itu, kondisi Iko mengalami luka pada bagian wajah dan ketika ketemu dokter, Iko dinyatakan harus segera dioperasi karena mengalami kerusakan pada bagian limpa.

Seorang peserta menyalakan lilin dan membawa foto Iko saat aksi solidaritas meninggalnya mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Negeri Semarang (Unnes) Iko Juliant Junior di Unnes, Semarang, Jawa Tengah, Selasa (02/09).

Sumber gambar, ANTARA FOTO/Aji Styawan

Keterangan gambar, Seorang peserta menyalakan lilin dan membawa foto Iko saat aksi solidaritas meninggalnya mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Negeri Semarang (Unnes) Iko Juliant Junior di Unnes, Semarang, Jawa Tengah, Selasa (02/09).

Iko dikabarkan meninggal dunia Minggu (31/08) sekitarpukul 16.00 WIB. Sementara, penyebab kondisi Iko sampai seperti itu, sampai saat ini masih simpang siur dan memicu pertanyaan.

"Ada kabar yang simpang siur mengenai penyebab meninggalnya Almarhum Iko. Ada [polisi] yang menyebut karena kecelakaan, tapi ada juga beberapa informasi luka dibagian limpa," ujar Ady Putra Cesario.

"Kita sedang mencari titik terang supaya tidak dibelokkan [penyebab kematiannya]."

Bukan hanya mengalami kejanggalan mengenai kondisi lukanya, namun tempat kejadian perkara (TKP) yang disebutkan polisi kecelakaan dan tempat yang disebutkan temannya berbeda.

Kemudian dia juga diantar ke rumah sakit bukan oleh ambulans atau relawan semacamnya, namun diantar oleh Brimob.

Kejanggalan ini, menggerakan 50 orang alumni Fakultas Hukum Unnes siap menjadi pendamping hukumnya. Saat ini, Ady bersama kawan-kawannya tengah mengupayakan bukti-bukti dan saksi dalam kejadian tersebut.

Sejumlah peserta menyalakan lilin dan meletakkan bunga di bawah Patung Dewi Themis (tokoh dewi kebajikan dan keadilan dalam mitologi Yunani kuno) saat aksi solidaritas meninggalnya mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Negeri Semarang (Unnes) Iko Juliant Junior di Unnes, Semarang, Jawa Tengah, Selasa (02/09).

Sumber gambar, ANTARA FOTO/Aji Styawan

Keterangan gambar, Sejumlah peserta menyalakan lilin dan meletakkan bunga di bawah Patung Dewi Themis (tokoh dewi kebajikan dan keadilan dalam mitologi Yunani kuno) saat aksi solidaritas meninggalnya mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Negeri Semarang (Unnes) Iko Juliant Junior di Unnes, Semarang, Jawa Tengah, Selasa (02/09).

"Kalau yang ngigau itu keterangan dari keluarga sebagai pihak yang mendampingi saat di rumah sakit, motornya masih dibawa polisi," katanya.

"Sementara kondisi keluarga masih sangat trauma dan beliau masih shock kemudian ingin mendapatkan ketenangan,"

"Ketika ada adik-adik kita berurusan dengan hukum, kami akan turun."

Kabar meninggalnya Iko ini, mulai ramai disampaikan pada Senin (01/09) lalu, namun kepolisian memberikan penjelasan mengenai kecelakaannya baru pada Selasa (02/09).

Tak hanya itu, polisi juga memindah titik TKP kecelakaan Iko di Jalan Veteran Semarang.

Sementara, data yang didapatkan wartawan Kamal yang melaporkan untuk BBC News Indonesia, terdapat surat kepolisian resmi yang ditanda tangani oleh Aiptu Hardiyanto menyebutkan, Iko mengalami kecelakaan pada Minggu (31/8/2025) pukul 02.30 WIB saat mengendarai motor di Jalan Dokter Cipto Kota Semarang.

"Namanya kejadian peristiwa yang sangat mendadak singkat ya. Orang yang membawa belum tentu tahu namanya jalan apa jalan apa," Dalih Kabid Humas Polda Jateng, Kombes Pol Artanto, Selasa (02/09).

"Nah, ini perlu kita cek faktanya seperti apa dan kita mengumpulkan CCTV-nya yang ada di jalan semua harus dikumpulkan dan saksi-saksi."

Sejumlah peserta menyalakan lilin di sekitar Patung Dewi Themis (tokoh dewi kebajikan dan keadilan dalam mitologi Yunani kuno) saat aksi solidaritas meninggalnya mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Negeri Semarang (Unnes) Iko Juliant Junior di Unnes, Semarang, Jawa Tengah, Selasa (02/09).

Sumber gambar, ANTARA FOTO/Aji Styawan

Keterangan gambar, Sejumlah peserta menyalakan lilin di sekitar Patung Dewi Themis (tokoh dewi kebajikan dan keadilan dalam mitologi Yunani kuno) saat aksi solidaritas meninggalnya mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Negeri Semarang (Unnes) Iko Juliant Junior di Unnes, Semarang, Jawa Tengah, Selasa (02/09).

"Kita sedang minta hasil visumnya seperti apa, nanti yang akan berbicara adalah visum," jawabnya mengenai luka lebam yang dialami oleh Iko.

Merespons kematian Iko, mahasiswa Unnes Semarang dengan melaksanakan doa bersama di area kampus pada Selasa (02/09).

Rektor Unnes, Profesor Martono, mengatakan siap membantu Iko jika terbukti adanya penyelewengan kronologi kejadian.

"Sementara kita hargai mengenai pernyataan polisi yang menyampaikan bahwa itu kejadiannya kecelakaan," katanya.

"Nanti ditemukan fakta lain ya kita ikuti, apa membantu untuk melacak penyebab kematian mahasiswa ini,"

"Apa benar ketika limpa rusak, berakibat mengigau,"

demonstrasi

Sumber gambar, AFP/Getty Images

Keterangan gambar, Potret sebuah kantor polisi di Surabaya yang dibakar usai unjuk rasa, 31 Agustus lalu.

Selain Dandi di Makassar, Rheza di Yogyakarta dan Iko di Semarang, tercatat sejumlah orang menjadi korban jiwa dalam gelombang demonstrasi yang terjadi akhir Agustus silam.

Di Jakarta, pengemudi ojek online Affan Kurniawan meninggal dunia setelah dilindas kendaraan rantis polisi usai demonstrasi pada 28 Agustus silam.

Kematiannya memicu kemarahan dan gelombang demonstrasi yang meluas ke seluruh Indonesia.

Di Tangerang, Andika Lutfi Falah, pelajar berumur 16 tahun, juga meninggal pada Senin (01/09) setelah koma selama tiga hari di RS AL Mintohardjo.

Ibu Andika Lutfi Falah, Sofi menunjukkan bingkai foto mendiang di Tigaraksa, Kabupaten Tangerang, Banten, Selasa (02/09).

Sumber gambar, ANTARA FOTO/Putra M. Akbar

Keterangan gambar, Ibu Andika Lutfi Falah, Sofi menunjukkan bingkai foto mendiang di Tigaraksa, Kabupaten Tangerang, Banten, Selasa (02/09).

Pelajar SMK ini ikut aksi pada 29 Agustus lalu. Dugaan kekerasan aparat didapat setelah diketahui tempurung kepala Andika mengalami cedera berat akibat benda tumpul.

Di Surakarta, Sumari meninggal karena dugaan efek gas air mata saat demonstrasi merebak.

Di Manokwari, Papua, Septinus Sesa, laki-laki berumur 39 tahun juga meninggal karena efek gas air mata yang ditembakkan polisi.

Septinus saat itu berada dekat lokasi unjuk rasa warga Papua yang menentang pemindahan empat terdakwa kasus makar ke Makassar.

Dorongan untuk usut tuntas

Sejumlah keluarga, seperti keluarga Rheza dan Andika memilih berdamai. Akan tetapi, keluarga Affan dan Dandi meminta agar kasus ini diusut tuntas agar tidak ada korban lain berikutnya.

"Harapan keluarga kami itu agar kasus ini diusut tuntas, dan semoga tidak ada dandi yang kedua ataupun yang ketiga kedepannya," ujar Reza, adik ipar Rusdam Diansyah.

Secara terpisah, Kapolda DIY, Irjen Anggoro Sukartono, menyatakan kesiapan polisi untuk melakukan proses hukum jika keluarga menginginkannya. Namun, keluarga korban saat ini menolak ekshumasi dan menerima kematian Rheza.

"Apabila ada masyarakat yang bisa membantu juga, mungkin ada saksi bagaimana Saudara Rheza selama ini yang kami lihat hanya dari media, kami coba lihat berita-berita media sosial. Apakah benar korban yang diperlakukan seperti itu? Ini penting," kata Anggoro.

Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia mendesak negara membentuk Tim Gabungan Pencari Fakta Independen untuk mengusut semua kasus kematian terkait unjuk rasa.

"Negara seharusnya memberi fokus utama pada hilangnya nyawa manusia," ujar Usman.

Ia juga meminta Komnas HAM segera melakukan penyelidikan pro-yustisia atas terbunuhnya 10 warga sipil ini.

"Negara harus mau bekerja sama dengan Komnas HAM dalam memastikan pertanggungjawaban atas kematian ini."

Ketua Komnas HAM Anis Hidayah menjelaskan pihaknya berupaya mengumpulkan data melalui pemantauan dan melakukan penyelidikan.

Saat ini, penyelidikan yang dilakukan terkait dengan kematian Affan Kurniawan. Kasusnya masih berada dalam ranah etik dan akan diserahkan ke Bareskrim untuk pidananya.

Personel Polres Ternate mengamankan seseorang mahasiswa dalam aksi unjuk rasa di depan kantor DPRD Kota Ternate, di Ternate, Maluku Utara, Senin (01/09).

Sumber gambar, ANTARA FOTO/Andri Saputra

Keterangan gambar, Personel Polres Ternate mengamankan seseorang mahasiswa dalam aksi unjuk rasa di depan kantor DPRD Kota Ternate, di Ternate, Maluku Utara, Senin (01/09).

Komnas HAM juga menemukan 429 orang di Bandung dirawat akibat luka.

Di Jakarta, sebanyak 469 orang mengakses layanan kesehatan, dengan rincian 371 orang rawat jalan, 97 orang rawat inap, dan 1 orang meninggal.

"Jenis keluhan infeksi pada mata ada 198 kasus, luka terbuka ada 90 kasus, sesak napas ada 42 kasus. Lalu, ada trauma fisik, patah tulang, dan cedera kepala," ujar Kepala Dinas Kesehatan Jakarta, Ani Ruspitawati.

Komisioner Komisi Nasional Disabilitas, Fatimah Asri Mutmainah, menyampaikan kekerasan yang terjadi ini dapat menimbulkan disabilitas baru.

"Patah tulang iga, kerusakan telinga yang mengakibatkan disabilitas sensorik tuli, persoalan mental berupa trauma rentan terjadi."

polisi, hukum

Sumber gambar, AFP/Getty Images

Keterangan gambar, Poster solidaritas dari mahasiswa dan kelompok pelajar di Bandung untuk Affan Kurniawan, pengendara ojek online yang tewas dilindas polisi.

"Dampak ini tidak hanya dirasakan individu langsung, tapi juga keluarga. Ini memberikan beban psikososial dan ekonomi yang lebih meningkat. Pendekatan damai dan perlindungan terhadap kelompok rentan harus menjadi priorita dalam penanganan konflik sosial," ujar Fatimah.

Adapun banyaknya jumlah kasus ini, menurut temuan Komnas HAM, disebabkan penggunaan gas air mata yang masif dan pemukulan benda tumpul, baik saat menyampaikan pendapat maupun saat membubarkan massa.

Berdasarkan catatan Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (Fitra), anggaran untuk pengendalian massa sepanjang 2021-2025 mencapai Rp2,6 triliun.

Anggaran ini untuk pengadaan alat pengendalian massa meliputi peluru karet, tongkat baton, amunisi huru-hara, hingga drone pelontar gas air mata.

"Anggaran negara harusnya untuk mengayomi masyarakat, bukan menakuti apalagi membungkam suara rakyat," ujar peneliti Fitra, Gurnadi R.

Tanggapan dunia internasional

Ketua Komnas HAM, Anis Hidayah, meminta aparat keamanan di seluruh indonesia mengamankan aksi tidak menggunakan pendekatan kekerasan dalam tugas keamanan. "Aparat agar tetap ada pada koridor HAM dalam, mengamankan aksi."

"Apalagi sudah ada korban kekerasan yang diduga pelakunya juga aparat, penting saat ini dibutuhkan komitmen untuk tidak melakukan kekerasan, tidak represif dalam mengamankan aksi," ujar Anis yang juga mendesak reformasi kepolisian.

Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia, Usman Hamid, juga menegaskan negara seharusnya hadir dengan manusiawi dengan mendengarkan tuntutan warga, menghormati kebebasan berekspresi, dan menegakkan hukum secara adil.

Menurut Usman, pemerintah harus segera mengevaluasi kebijakan sosial ekonomi yang merugikan hak masyarakat dan memastikan akuntabilitas polisi. "Ini mengapa negara seperti menghindar dari akar masalahnya?" ucap Usman."

"Tunjangan DPR itu hanya ranting masalah yang menghimpit kehidupan masyarakat. Ada kenaikan pajak, pemotongan belanja daerah, PSN, IKN, Danantara, dan banyak lagi adalah akar masalah."

Dunia internasional juga telah mengeluarkan sikap. Ravina Shamdasani dari Badan PBB Urusan HAM meminta penyelidikan yang cepat, mendalam, dan transparan terkait pelanggaran hukum HAM internasional yang telah dilakukan oleh aparat. Ia juga menekankan kebebasan pers agar media bisa meliput.

"Otoritas harus menjunjung tinggi perdamaian, hak untuk berkumpul, dan kebebasan berekspresi. Penegak hukum juga harus mengikuti prinsip dasar HAM dalam menjalankan tugas."

Darul Amri di Makassar, Riza Salman di Yogyakarta dan Kamal di Semarang, berkontribusi untuk liputan ini.