KOMPAS.com - Hubungan bilateral antara Indonesia dan Republik Rakyat China (RRC), yang mendekati usia 75 tahun pada tahun 2025, berada dalam dinamika kompleks ditandai dengan kemesraan diplomatik dan tantangan strategis.
Selain isu-isu keamanan di Laut China Selatan dan Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) Indonesia, tantangan ekonomi juga menjadi sorotan utama, khususnya terkait masifnya investasi China di sektor infrastruktur dan pertambangan yang seringkali diiringi dengan isu tenaga kerja asing dan potensi beban utang.
Namun, fokus utama perhatian saat ini tertuju pada fenomena "banjir barang" murah asal China yang membanjiri pasar domestik.
Kondisi ini memunculkan kekhawatiran dampak serius, mulai dari tertekannya industri lokal dan Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM), hingga hilangnya lapangan kerja tenaga kerja lokal, dan yang lebih mendasar, ancaman kemandirian ekonomi bangsa.
Diskusi ini mengemuka dalam seminar “Strategi Tiongkok Mencari Pasar: Tantangan dan Peluang Bagi Indonesia,” yang berlangsung di Kampus Pascasarjana Universitas Paramadina, Jakarta, Jumat 31 Oktober 2025.
Seminar digagas oleh Paramadina Asia Pacific Institute (PAPI) bersama Forum Sinologi Indonesia (FSI) dan Ikatan Pemuda Tionghoa (IPTI).
Sejumlah pembicara hadir, antara lain Kepala Pusat Kajian Iklim Usaha LPEM FEB dan dan Dosen Sekolah Pascasarjana Pembangunan Berkelanjutan Universitas Indonesia, Mohammad Dian Revindo.
Selain itu ada pula Wakil Ketua Komite Tetap Konektivitas Sosial Budaya Bidang Infrastruktur, Kamar Dagang dan Industri Indonesia (Kadin), Yen Yen Kuswati dan perwakilan Kementerian Perindustrian, Laode Ikrar Hastomi.
Ketua Forum Sinologi Indonesia (FSI) Johanes Herlijanto menyampaikan pentingnya memperhatikan dan mencari solusi bagi fenomena banjir barang asal China karena ini berdampak pada kemandirian bangsa.
Baca juga: Kata Ekonom Indef soal Penyebab Banjirnya Barang China di E-commerce Indonesia
“Kehadiran barang dari China dengan harga yang sangat kompetitif bukan hanya berdampak pada industri lokal, usaha kecil, mikro dan menengah, serta tenaga kerja yang harus menghadapi kehilangan pekerjaan akibat perusahaan tempat mereka bekerja kalah bersaing," ungkap Johanes.
"(Tetapi) juga pada potensi ketergantungan masyarakat Indonesia pada barang asal China. Ini pada gilirannya dapat mengganggu kemandirian bangsa,” tambah Johanes dosen Jurusan Ilmu Komunikasi Universitas Pelita Harapan.
Direktur PAPI, Peni Hanggraini dalam sambutan mengajak peserta mengevaluasi hubungan China Indonesia saat ini dengan menengok ke belakang, ketika sosok Laksamana Zheng He dari Dinasti Ming mengunjungi Indonesia pada abad ke-15.
Melalui misi pelayaran Laksamana Zheng He ke berbagai wilayah Asia, termasuk Indonesia, Tiongkok melangsungkan diplomasinya tidak dengan kekuatan militer.
“Dulu hubungan ini terjalin melalui pelayaran dan pertukaran barang seperti sutra, keramik, rempah-rempah serta budaya, kini telah berkembang menjadi kerja sama di bidang perdagangan, investasi, dan teknologi," ujar Peni.
"Bagaimana Indonesia menghadapi ini sebagai tantangan sekaligus peluang merupakan hal penting untuk dikaji,” lanjut Peni.