GAZA, KOMPAS.com – Setelah pasukan Israel menarik diri sebagian dari Jalur Gaza, Hamas berupaya menegaskan kembali otoritasnya di wilayah tersebut, meski masa depan kelompok itu masih menjadi tanda tanya di tengah upaya rekonstruksi.
Dalam sepekan sejak gencatan senjata Gaza diberlakukan, petugas bersenjata Hamas kembali berpatroli di wilayah yang ditinggalkan Israel.
Mereka terlibat bentrokan dengan klan saingan dan beberapa kali menembaki pasukan Israel dalam sejumlah insiden.
Meski terus menunjukkan kehadirannya, para pejabat keamanan Israel dan pengamat di Gaza sepakat bahwa kekuatan Hamas kini telah menyusut drastis, namun belum benar-benar musnah.
Kelompok itu bahkan diperkirakan masih mampu menarik rekrutan baru, terutama setelah puluhan ribu warga sipil Palestina tewas akibat serangan Israel.
Kekuatan militer yang masih tersisa
Penilaian atas kekuatan Hamas menjadi krusial dalam negosiasi pelucutan senjata, salah satu poin penting dalam kesepakatan gencatan senjata yang ditengahi Amerika Serikat.
Hamas sejauh ini menolak menyerahkan senjatanya.
“Hamas mengalami kerusakan yang sangat parah dalam kemampuan militernya, tetapi saya rasa adil untuk mengatakan bahwa Hamas tidak hancur total,” ujar Shalom Ben Hanan, peneliti di Institut Internasional untuk Kontra-Terorisme di Universitas Reichman, Israel, yang juga veteran hampir 30 tahun di Badan Keamanan Israel (Shin Bet).
“Mungkin ancamannya tidak akan terjadi dalam beberapa hari mendatang atau dalam waktu dekat. Namun potensi mereka masih ada,” imbuhnya, dikutip dari NBC News pada Selasa (21/10/2025).
Hanan memperkirakan Hamas masih memiliki sekitar 15.000 hingga 25.000 pejuang, berdasarkan informasi dari pejabat keamanan Israel yang aktif bertugas.
Seorang pejabat militer Israel yang berbicara tanpa menyebut nama memperkirakan jumlah pasukan komando Hamas berkisar antara 10.000 hingga 20.000 orang.
Giora Eiland, mantan direktur Dewan Keamanan Nasional Israel sekaligus mantan kepala perencanaan Pasukan Pertahanan Israel (IDF), mengatakan Hamas kehilangan sekitar 20.000 pejuang selama dua tahun perang.
Namun, menurutnya, kelompok itu tidak akan kesulitan untuk menyusun kembali kekuatan.
“Mudah bagi Hamas untuk merebut kembali kekuasaan dan sangat mudah bagi mereka untuk merekrut lebih banyak orang untuk menggantikan mereka yang tewas,” kata Eiland.
Rekrutmen baru dan akar konflik
Hamas merebut kekuasaan dari partai Fatah yang lebih sekuler dan diakui secara internasional pada 2007, setelah memenangkan pemilu legislatif setahun sebelumnya.
Kelompok itu, yang dikategorikan sebagai organisasi teroris oleh Amerika Serikat, Israel, dan sejumlah negara lain, tidak mengakui keberadaan Israel.
Pada 7 Oktober 2023, Hamas melancarkan serangan besar terhadap Israel, yang disebut bertujuan menghambat upaya normalisasi hubungan antara Israel dan dunia Arab.
Serangan balasan Israel menghancurkan sebagian besar wilayah Gaza dan menewaskan puluhan ribu warga sipil.
Kemarahan masyarakat akibat serangan tersebut justru dapat mendorong munculnya generasi baru pejuang Hamas.
“Meskipun kita akan berbicara tentang anak muda dengan pengalaman militer yang lebih sedikit, mereka tidak diragukan lagi memiliki banyak kompetensi dan cukup senjata pribadi seperti senjata ringan dan RPG,” ujar Eiland.
Dampak perang dan kemampuan produksi senjata
Perang berkepanjangan juga menimbulkan korban besar bagi warga sipil.
Komisi Perserikatan Bangsa-Bangsa pada September menyatakan Israel melakukan genosida terhadap warga Gaza, sementara kelaparan resmi diumumkan pada Agustus di wilayah utara, termasuk Kota Gaza.
Israel juga disebut telah menghancurkan sebagian besar persenjataan berat dan fasilitas produksi senjata Hamas, serta menewaskan sejumlah pemimpin seniornya.
Pejabat militer Israel memperkirakan 90 persen roket Hamas telah hancur, sementara kemampuan kelompok itu membangun kembali senjata berat dinilai berhasil digagalkan.
"Yang sangat penting adalah lokasi produksi, rute penyelundupan, dan sebagainya. Bukan hanya merampas ikan, tetapi juga merampas pancingnya," kata pejabat tersebut.
Terowongan, kekuatan yang masih menjadi tantangan
Meski begitu, para pakar menilai jaringan terowongan Hamas masih menjadi kekuatan terbesar sekaligus tantangan utama bagi Israel.
Eiland memperkirakan sekitar 70 hingga 80 persen terowongan Hamas masih utuh, dengan sebagian besar belum terdeteksi oleh militer Israel.
Pekan lalu, Menteri Pertahanan Israel Israel Katz menyebut IDF kini fokus menghancurkan jaringan terowongan yang tersisa sebagai bagian dari proses pelucutan senjata Hamas.
IDF melaporkan beberapa tentaranya ditembaki saat membongkar sebagian terowongan pada Minggu lalu.
Krisis politik di Gaza
Dari sisi politik, pengaruh dan popularitas Hamas di kalangan warga Gaza disebut menurun tajam.
Meski Israel dianggap bertanggung jawab atas kematian hampir 70.000 warga Palestina, Hamas juga menanggung sebagian besar kemarahan publik.
“Secara politik, Hamas benar-benar berada dalam kekacauan. Mereka tidak memiliki program politik atau agenda yang kuat di Gaza,” ujar Ahmed Fouad Alkhatib, Kepala Proyek Realign for Palestine di Atlantic Council, yang keluarganya berasal dari Jalur Gaza.
Namun, berbeda dari kelompok teroris seperti ISIS atau Al Qaeda, Hamas memiliki basis geografis nyata dan dianggap sebagai bagian dari struktur sosial Gaza.
“Hamas bukanlah organisasi teroris yang muncul entah dari mana dan menguasai wilayah dengan menebar ketakutan. Hamas adalah perwakilan sejati rakyat Gaza,” kata Eiland.
Di luar Gaza, Hamas juga mengeklaim memiliki peran penting dalam mengubah opini global terhadap Israel.
“Hamas merasa bahwa perubahan ini adalah sesuatu yang mereka sendiri ciptakan, dan mereka mengaitkannya dengan gambaran strategis di lapangan,” ujar Alkhatib.
https://www.kompas.com/global/read/2025/10/21/172700070/hamas-melemah-tapi-belum-tumbang-gaza-masih-di-bawah-bayang-bayang