CARACAS, KOMPAS.com - Selama dua bulan terakhir, Amerika Serikat di bawah pemerintahan Presiden Donald Trump telah membangun kekuatan militer besar-besaran di Laut Karibia.
Rangkaian pengerahan kapal perang, pesawat tempur, drone, marinir, dan pesawat pembom strategis itu menjadi penempatan militer terbesar di kawasan tersebut dalam beberapa dekade terakhir.
Langkah ini menimbulkan pertanyaan besar di kalangan pengamat: Apakah benar Washington sedang memerangi narkoba, atau justru tengah menyiapkan tekanan militer untuk menggulingkan pemerintahan Presiden Nicolas Maduro di Venezuela?
Baca juga: Bomber B-1B AS Dikerahkan ke Dekat Venezuela, Maduro Ancam dengan 5.000 Rudal Rusia
Speedboat yang diduga membawa narkoba dari Venezuela.Menurut laporan BBC, Sabtu (25/10/2025), hingga 23 Oktober terdapat sepuluh kapal perang AS di sekitar Karibia—termasuk kapal perusak rudal berpemandu, kapal serbu amfibi, serta kapal tanker pengisi bahan bakar di laut.
Armada ini juga mencakup USS Gerald R Ford, kapal induk terbesar di dunia, serta kapal USS Lake Erie dan MV Ocean Trader, kapal kargo yang telah dimodifikasi untuk mendukung operasi pasukan khusus dan pengintaian.
Selain di laut, kekuatan udara AS juga meningkat drastis. Citra satelit memperlihatkan keberadaan jet tempur siluman F-35, pesawat pengebom B-52 dan B-1, serta drone MQ-9 Reaper di wilayah udara sekitar Puerto Rico dan Trinidad & Tobago.
Pesawat pengintai P-8 Poseidon dan helikopter serbu MH-6M “Little Bird”* juga terdeteksi di perairan dekat Venezuela.
Meski Pentagon mengeklaim operasi ini sebagai bagian dari “perang melawan perdagangan narkoba”, banyak pihak menilai pengerahan pasukan dalam skala sebesar ini tidak sebanding dengan operasi antinarkotika biasa.
“Ini bukan soal narkoba. Ini soal perubahan rezim,” kata Dr Christopher Sabatini, peneliti senior untuk Amerika Latin di Chatham House.
“Mereka mungkin tidak akan menginvasi, tapi jelas ini sinyal untuk menakut-nakuti militer Venezuela dan lingkaran dalam Maduro agar berbalik melawan dia,” ujarnya.
Washington secara terbuka menolak mengakui Nicolas Maduro sebagai presiden sah Venezuela, setelah pemilu 2024 dinilai tidak bebas dan penuh kecurangan.
Pemerintahan Trump bahkan meningkatkan hadiah hingga 50 juta dollar AS (sekitar Rp 830 miliar) bagi siapa pun yang memberikan informasi yang mengarah pada penangkapan Maduro.
Namun, langkah itu belum menghasilkan pembelotan dari orang-orang dekat Maduro.
“Bagi elite Venezuela, 50 juta dollar bukan apa-apa dibandingkan dengan kekayaan yang mereka dapat dari korupsi di negara kaya minyak itu,” ujar Jose Ignacio Hernandez, pakar hukum Venezuela yang kini menjadi peneliti di lembaga CSIS (Center for Strategic and International Studies).