Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Aris Setiawan
Dosen

Etnomusikolog, Pengajar di Jurusan Etnomusikologi dan Program Pascasarjana Institut Seni Indonesia (ISI) Surakarta, anggota Akademi Ilmuwan Muda Indonesia (ALMI).

Database Terpusat, Mimpi Royalti Musik Adil

Kompas.com - 11/09/2025, 19:37 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

PERSOALAN utama dalam kebijakan royalti musik terletak pada ketiadaan definisi yang tegas dan universal mengenai batasan antara penggunaan pribadi, penggunaan publik non-komersial, dan penggunaan komersial.

Penggunaan pribadi umumnya merujuk pada aktivitas mendengarkan musik di lingkup domestik atau melalui perangkat personal seperti headphone, yang jelas-jelas tidak memerlukan pembayaran royalti tambahan.

Namun, ketika musik diputar di ruang terbuka, bisa diakses banyak orang (seperti taman publik atau area komunitas), muncul kerancuan apakah ini termasuk kategori non-komersial atau sudah masuk ranah komersial.

Ketidakjelasan ini menjadi sumber konflik, terutama ketika lembaga pengelola hak cipta menerapkan aturan berbeda dalam mengklasifikasikan jenis penggunaan.

Penggunaan publik non-komersial seharusnya mencakup aktivitas yang bersifat sosial, edukatif, atau nirlaba, seperti pemutaran musik di perpustakaan, acara amal, atau kegiatan komunitas tanpa tujuan profit.

Baca juga: Perang Royalti di Era Musik Generatif AI

Namun, dalam praktiknya, batasan ini kabur. Misalnya, kafe yang menyelenggarakan open mic night dengan tujuan membangun komunitas (tetapi sekaligus menarik pengunjung) dapat dikategorikan sebagai non-komersial atau komersial (tergantung pada interpretasi).

Regulasi yang ada tidak memberikan kriteria objektif untuk membedakan kedua jenis penggunaan ini, sehingga berpotensi menimbulkan tuntutan royalti yang sebenarnya tidak perlu.

Sementara itu, penggunaan komersial merujuk pada pemutaran musik yang secara langsung atau tidak langsung mendatangkan keuntungan finansial, seperti di restoran, pusat perbelanjaan, atau hotel.

Namun, di sini pun terdapat ambiguitas. Contohnya, toko kecil yang memutar radio dengan volume rendah (hanya sebagai latar belakang), diperlakukan sama dengan klub malam yang sengaja menggunakan musik sebagai daya tarik utama.

Terlebih, hal itu semakin pelik jika musik yang diputar lewat radio royaltinya telah dibayar oleh pihak radio melalui skema kolektif yang difasilitasi oleh Perkumpulan Radio Siaran Swasta Nasional Indonesia (PRSSNI).

Ketimpangan ini menunjukkan perlunya gradasi dalam penentuan tarif royalti, yang mempertimbangkan saluran, skala bisnis, intensitas penggunaan musik, dan dampak ekonomi langsung dari pemutaran tersebut.

Mekanisme pembayaran royalti untuk masing-masing kategori juga belum terstandarisasi.

Untuk penggunaan pribadi, kewajiban royalti sudah termasuk dalam harga pembelian fisik atau langganan platform digital.

Namun, untuk penggunaan publik non-komersial, kerap tidak ada mekanisme pembayaran jelas, kecuali melalui permohonan izin khusus yang prosesnya birokratis.

Sementara untuk penggunaan komersial, tarif ditetapkan berdasarkan perkiraan kasar, seperti luas ruangan atau kapasitas tempat, tanpa mempertimbangkan frekuensi pemutaran atau jenis musik yang diputar.

Halaman:

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Unduh Kompas.com App untuk berita terkini, akurat, dan tepercaya setiap saat
QR Code Kompas.com
Arahkan kamera ke kode QR ini untuk download app
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
atau