KOMPAS.com - Yurike Sanger dikenal sebagai istri kedelapan Presiden Soekarno, Presiden pertama Republik Indonesia.
Pertemuan mereka terjadi pada 1963 ketika Yurike, yang saat itu masih berstatus pelajar SMA, terpilih menjadi anggota Barisan Bhinneka Tunggal Ika dalam acara kenegaraan.
Keanggotaan di barisan itu biasanya diberikan kepada pelajar yang dianggap berpenampilan menarik.
Saat tampil di upacara kemerdekaan, tatapan Bung Karno tertuju pada Yurike. Sejak itu, perhatian khusus diberikan kepadanya, mulai dari menyapa, duduk bersebelahan, hingga mengantarnya pulang.
Baca juga: Kapan Soekarno Resmi jadi Presiden? Ini Sejarah dan Alasannya
Benih cinta pun tumbuh di antara keduanya. Bung Karno bahkan menyarankan agar Yurike memanggilnya dengan sebutan “Mas”, bukan lagi “Bapak”.
Pertemuan pertama keduanya terjadi ketika Yurike masih duduk di bangku SMP. Namun, hubungan mulai terjalin lebih dekat ketika ia SMA.
Dari pertemuan demi pertemuan, Bung Karno semakin intens memperhatikan Yurike, hingga akhirnya ia melamar secara resmi.
Lamaran itu sempat mengejutkan keluarga Yurike. Setelah diskusi panjang, terutama dengan putri mereka yang masih belia, keluarga akhirnya menerima. Pada 6 Agustus 1964, pernikahan digelar secara Islam di rumah keluarga Yurike.
Sejak saat itu, kehidupan Yurike berubah. Dari seorang siswi SMA, ia mendadak mengemban peran besar sebagai istri seorang presiden.
Baca juga: Perbedaan Pokok Pemikiran Mr. Soepomo dengan Ir. Soekarno dalam Perumusan Dasar Negara
Sebelum melamar, Bung Karno sempat memberikan kalung dari koleksinya kepada Yurike sebagai tanda kasih. Pemberian itu menjadi penegasan niat seriusnya. Setelah resmi menjadi suami-istri, perlakuan Bung Karno kepada Yurike semakin istimewa.
Meski demikian, kehidupan mereka tidak selalu berjalan mulus. Yurike awalnya masih tinggal bersama orang tuanya, lalu dipindahkan ke rumah di Cipinang Cempedak, Jakarta Timur. Namun, rumah tersebut berstatus sitaan kejaksaan, sehingga kebebasan mereka terbatas.
Cobaan berat datang ketika Yurike mengalami kehamilan di luar kandungan. Ia harus menjalani operasi di Rumah Sakit Husada, Jakarta. Saat itu Bung Karno sedang berada di luar negeri.
Selama perawatan, seorang dokter bernama Arifin memberi perhatian khusus kepada Yurike. Hal itu menimbulkan kecemburuan besar di hati Bung Karno.
Ia sampai memerintahkan pengawal untuk menyingkirkan semua pemberian sang dokter, bahkan memanggilnya ke istana untuk dimintai keterangan.
Baca juga: Apa Itu Trisila dan Ekasila, Alternatif Pancasila dari Soekarno?
Setelah Soeharto dilantik sebagai pejabat presiden pada 12 Maret 1967, Bung Karno harus meninggalkan istana.
Ia menjalani masa isolasi di Wisma Yaso, Jakarta. Kondisi politik dan ekonomi kian sulit, dan kehidupan rumah tangga mereka ikut terguncang.
Bung Karno kemudian menyarankan Yurike untuk mengajukan cerai. Alasannya, Yurike masih sangat muda dan layak menjalani kehidupan yang lebih baik.
Pada 1968, perceraian itu benar-benar terjadi. Meski hubungan berakhir, keduanya berpisah dengan cara baik-baik. Bung Karno dan Yurike masih saling menyayangi, tetapi keadaan membuat mereka tidak bisa terus bersama.
Baca juga: Hubungan Indonesia dan AS di Masa Soekarno: Renggang Jelang 1965
Referensi: