"Bukan besar kecilnya bantuan, tapi tentang rasa percaya yang tumbuh dari janji yang ditepati."
1. Ketika Harapan Disusun dari Angka-angka Diskon
Di banyak sudut kampung kota, harapan sering kali hadir dalam bentuk yang sederhana—pengumuman diskon, penghematan sebulan, atau bahkan janji-janji yang bergema dari media resmi.
Saat kabar diskon listrik 50 persen diumumkan untuk bulan Juni dan Juli 2025, banyak warga seperti mendapatkan ruang bernapas.
Sebuah jeda, dari deret kekhawatiran yang terus menumpuk: harga bahan pokok yang merangkak naik, biaya sekolah anak yang mendekat, dan ongkos hidup yang kian rapuh.
Puji, seorang pedagang gorengan di Jakarta Barat, bahkan sempat menyesuaikan belanja harian. “Saya pikir bisa hemat buat kebutuhan anak sekolah,” katanya.
Namun harapan itu tak bertahan lama. Janji diskon itu tiba-tiba dibatalkan—tanpa aba-aba, tanpa penjelasan memadai. Seperti lilin yang padam saat masih dibutuhkan, rasa kecewa menggulung sunyi.
Dan di situlah luka sebenarnya bermula: bukan dari nilai diskonnya, melainkan dari cara ia dilenyapkan.
2. Mengapa Janji yang Tak Terealisasi Lebih Menyakitkan?
Dalam ruang kebijakan publik, janji adalah mata uang kepercayaan. Sekali diumumkan, maka publik memeluknya sebagai kepastian—bukan sekadar kemungkinan.