Pernah nggak sih kamu merasa hidup kayak lagu yang terus di-loop? Bangun pagi, kerja seharian, gaji masuk lalu langsung lenyap untuk bayar kebutuhan orang tua dan anak. Tidur, lalu ulang lagi.
Begitu terus setiap bulan, tiap tahun. Itulah kenyataan pahit banyak generasi sandwich—terjepit di tengah antara tanggung jawab menghidupi orang tua yang menua dan anak yang sedang tumbuh.
Di tengah hiruk-pikuk memberi dan memenuhi, kita sering lupa satu hal penting: diri sendiri.
Lalu, pertanyaannya—kapan terakhir kali kamu benar-benar hidup untuk dirimu sendiri, bukan sekadar bertahan?
Zona Nyaman yang Menjebak
Zona nyaman bukan selalu soal malas-malasan di kasur atau menunda-nunda pekerjaan. Bagi banyak generasi sandwich, zona nyaman justru hadir dalam bentuk rutinitas yang nggak pernah dipertanyakan.
Bangun, kerja, pulang, bayar ini-itu, lalu ulang lagi. Lama-lama kita merasa, “Ya udah, emang begini jalan hidup gue.” Padahal, itu bukan pilihan—itu loop.
Tanpa sadar, kita menjalani hidup seperti robot dengan autopilot, sibuk menunaikan tanggung jawab tanpa jeda untuk merancang masa depan.
Akibatnya, banyak yang baru tersadar di usia 40 atau 50 bahwa mereka belum punya apa-apa untuk pensiun. Padahal waktu terus berjalan, dan tubuh serta tenaga tidak akan selamanya sekuat hari ini.
Realita Pahit Generasi Sandwich?
Menjadi generasi sandwich berarti memikul beban ganda: di satu sisi harus menghidupi orang tua yang sudah tidak produktif, di sisi lain membesarkan anak yang masih sepenuhnya bergantung.
Kondisi ini bukan hanya menguras fisik dan mental, tapi juga kantong. Gaji yang masuk sering kali hanya numpang lewat—dipakai untuk kebutuhan rumah tangga, sekolah anak, biaya pengobatan orang tua, hingga cicilan bulanan. Tabungan? Hampir mustahil. Dana pensiun? Tertunda terus.