Jalan tol tak pernah menjanjikan apa-apa, kecuali kecepatan dan kemungkinan. Ia hanya tahu dua arah: lanjut atau keluar. Tapi pada Jumat dini hari itu, di Kilometer 315 Tol Pemalang-Batang, seseorang tak lagi sempat memilih arah.
Namanya Alamuddin Dimyati Rois. Di media ia dikenal sebagai Gus Alam. Bukan selebritas, bukan motivator, bukan juga politisi yang doyan berselfie di ruang sidang. Tapi ia duduk di DPR RI, empat periode berturut-turut. Anak dari kiai sepuh di Kendal. Santri yang pindah ke kursi kekuasaan tapi tak banyak mengubah gaya bicara. Kalem. Kadang seperti orang bingung, tapi justru itulah bentuk paling jujur dari orang yang tahu dunia ini tak bisa ditakar dengan akal sehat saja.
Gus Alam wafat dalam kecelakaan lalu lintas.
Di sebuah waktu yang bahkan Google Maps belum merekam kemacetan. Mobilnya menabrak bagian belakang truk, seperti seseorang yang buru-buru ingin sampai, tapi lupa bahwa takdir bisa menyisip dari balik sorot lampu jauh.
Berita meninggalnya Gus Alam ramai di media. Tapi tak seramai berita orang ribut soal subsidi atau suara buzzer. Mungkin karena Gus Alam bukan jenis politisi yang suka gaduh. Ia ada, hadir, mengusulkan, menyimak. Tapi tak pernah viral. Ia mengurus hal-hal yang membosankan bagi algoritma: pendidikan pesantren, ketenagakerjaan santri, dan urusan kampung yang sering kalah suara dari diskusi soal e-wallet.
Kematian mendadak memang selalu mengagetkan. Tapi ada yang lebih menyesakkan: ketika orang baik pergi, dan kita baru sadar ia pernah ada.
Ada yang bilang, "Lho, Gus Alam itu masih muda ya?" Ya, 44 tahun. Tapi siapa peduli usia kalau takdir sudah lebih dahulu siap parkir?
Beberapa koleganya di DPR menyebutnya sopan, religius, dan penuh dedikasi. Tapi yang lebih penting: ia bukan hanya wakil rakyat---ia pernah menjadi rakyat itu sendiri. Yang antri zakat di pesantren. Yang dengar ceramah ayahnya sambil mengantuk. Yang pernah dihukum karena tak hafal Alfiyah, dan pernah mengimami tarawih dengan suara serak-serak mengaji.
Saya membayangkan, di detik-detik terakhirnya, Gus Alam tak sedang memikirkan revisi undang-undang. Mungkin ia sedang ingin cepat pulang. Mungkin di mobil itu ada suara murottal, atau mungkin sunyi. Tapi yang pasti, jalan tol itu menyimpan saksi bisu: bahwa tak semua orang pulang lewat jalur biasa.
Ada cerita yang beredar dari santri lama pondoknya: Gus Alam itu dulu tukang bersih toilet masjid pesantren. Bukan karena dihukum, tapi karena merasa itu tempat paling sepi dan paling bisa membuatnya merenung. Katanya, "Kalau mau belajar ikhlas, bersihkan tempat yang orang anggap remeh." Mungkin itulah sebabnya ia tak pernah terlihat pongah di layar kaca.
Kita terbiasa membaca berita orang besar pergi: disambut karangan bunga, diantar pejabat, disebut dalam doa masjid agung. Tapi jarang kita sempat berhenti sejenak dan berkata, "Tunggu. Apa yang sebenarnya ia wariskan?"