Kesibukan adalah bagian tak terpisahkan dari hidup manusia, terlebih bagi orang tua. Tapi ketika kesibukan itu berubah menjadi tameng yang menjauhkan seseorang dari keluarganya, maka yang tersisa hanya penyesalan, bukan pencapaian.
Hari-hari ini, di tempatku tinggal hujan selalu turun tepat lewat pukul dua belas siang. Deras. Tak tanggung-tanggung, sampai membuat kali di sekitar permukiman meluap. Durasinya lama, bisa hingga malam. Sebuah latar yang murung untuk hari yang padat sejak pagi.
Hari itu Senin. Pukul tiga sore aku selesai kerja, tapi tidak bisa langsung pulang. Jam 15.30 aku ada murid les, durasinya satu jam. Setelahnya, jam 17.00, aku harus ke gereja untuk membantu panitia Masa Raya Paskah menyiapkan paket sembako. Dan malamnya, masih ada les lagi pukul 20.00.
Aku bagian dari seksi acara---tugasnya mengurus kegiatan diakonia: pelayanan kasih dengan membagikan kebutuhan pokok kepada mereka yang membutuhkan. Tugas ini tak bisa dianggap remeh. Ada tanggung jawab moral, ada ikatan untuk ambil bagian dalam pelayanan.
Tapi di sisi lain... aku kangen anakku. Seharian bekerja sudah cukup membuatku merasa jauh dari anak. Sore adalah momen emas untuk pulang, walau sebentar. Tapi agenda panitia di gereja menunggu. Malamnya aku masih harus kembali mengajar. Aku jadi dilema.
Di tengah kebimbangan, saat hendak pulang dari kantor, teman-temanku tiba-tiba memberiku satu kotak donat. Hadiah ulang tahun, meski ulang tahunku sudah lewat minggu lalu. Padahal, mereka sudah memberiku kue waktu itu. Tapi mereka masih mengingat, dan memberi kue lagi. Sungguh, perhatian mereka membuatku merasa dikuatkan---di tengah hari-hari penuh tekanan.
Aku memegang donat itu dan merenung: Haruskah aku pulang sebentar? Lima belas menit saja? Momen itu akan menentukan, apakah aku punya waktu yang berarti bersama anak hari ini, atau tidak.
Anak lesku yang pertama hari itu masih kelas 1 SD. Ia punya adik di TK dan kakak di SMP. Sebelum mulai les, aku membagi donat itu untuk ketiganya. Wajah mereka berseri-seri saat menikmatinya. Aku ikut bahagia---dan terbayang anakku di rumah yang pasti juga akan menyukai rasa donat coklat melt-ovaltine dan keju ini. Masih ada tiga biji tersisa---cukup untukku, istri, dan anakku.
Aku membayangkan makan donat bersama anak dan istri di teras rumah yang basah seusai hujan... akhirnya aku memutuskan untuk pulang dulu.
Suara motorku terdengar begitu aku sampai, anakku langsung membuka pintu sambil berteriak, "Ci-luk-ba!" dengan nada yang ceria. Ia benar-benar menanti kepulanganku. Biasanya, begitu aku datang, dia akan langsung presentasi panjang lebar: soal film, mainan, atau hal-hal konyol yang dia alami hari ini bersama mamanya.