Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Untar untuk Indonesia
Akademisi

Platform akademisi Universitas Tarumanagara guna menyebarluaskan atau diseminasi hasil riset terkini kepada khalayak luas untuk membangun Indonesia yang lebih baik.

FOBO: Terlalu Banyak Pilihan, Terlalu Banyak Keraguan

Kompas.com - 09/04/2025, 18:08 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

Oleh: Anggita Prameswari dan Niken Widi Astuti*

DI ERA modern yang penuh berbagai pilihan, kita justru sering diliputi keraguan mengambil keputusan, baik keputusan kecil dalam keseharian maupun keputusan besar yang menentukan arah hidup.

Sebagai contoh, kita sering kali bimbang saat memilih makanan di aplikasi layanan pesan-antar. Banyaknya pilihan justru membuat kita ragu untuk menentukan apa yang akan kita makan.

Tidak hanya itu, kita juga sering kali mempertimbangkan biaya operasional serta ongkos kirim yang berbeda-beda di setiap aplikasi, menambah keraguan dalam pengambilan keputusan.

Tersedianya berbagai pilihan membuat kita sering terjebak dalam ketakutan bahwa akan ada opsi yang lebih baik di luar sana. Fenomena ini disebut Fear of Better Option (FOBO).

Istilah FOBO diciptakan Patrick McGinnis pada 2004, yang juga mencetuskan istilah FOMO (Fear of missing out) yang sudah tidak asing di telinga kita.

Karena terlalu seriusnya, bahkan McGinnis menjulukinya sebagai “saudara jahat” dari FOMO.

Baca juga: Parental Alienation: Orangtua yang Diasingkan

Menurut McGinnis, FOBO merupakan “mekanisme penanggulangan” yang biasa manusia lakukan untuk mengatasi rasa takut dalam membuat keputusan yang salah jika “sesuatu yang lebih baik datang”.

McGinnis mengatakan bahwa FOBO adalah bentuk “penderitaan akibat kemakmuran”, terutama dialami oleh mereka yang memiliki keistimewaan, seperti kekuasaan dan kekayaan sehingga memberi mereka terlalu banyak pilihan.

Oleh karena itu, FOBO sering dijadikan alasan, baik oleh perusahaan besar maupun individu untuk menunda keputusan atau menghindari tindakan dengan dalih masih mencari opsi terbaik.

FOBO membuat seseorang terus menimbang berbagai opsi tanpa henti yang dapat menyebabkan stres, kecemasan, bahkan penundaan keputusan berkepanjangan.

Di era digital, FOBO semakin diperparah oleh melimpahnya informasi. Media sosial dan internet terus-menerus menyajikan opsi baru, membuat seseorang semakin ragu dengan keputusan yang sudah didapatkan.

Mengapa FOBO dapat terjadi?

Secara psikologis, konsep FOBO dapat dijelaskan melalui konsep “The Paradox of Choice” yang diperkenalkan oleh psikolog Barry Schwartz ketika menerbitkan buku berjudul The Paradox of Choice: Why More is Less pada 2004.

Sebagai contoh, ketika seseorang membutuhkan susu, maka akan pergi ke toko untuk membelinya.

Baca juga: Self Affirmation agar Mental Sehat

Halaman Berikutnya
Halaman:


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar di Artikel Lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
atau