TERBONGKARNYA kasus dugaan oplosan BBM jenis Pertamax menggunakan Pertalite yang merugikan negara ratusan triliun rupiah dan menyeret orang-orang kuat di Pertamina Patraniaga, mestinya menjadi momentum penting bagi pemerintah untuk berpikir serius bagaimana jalan menuju swasembada energi seperti yang disampaikan Presiden Prabowo Subianto.
Apabila Indonesia terus-menerus mengimpor minyak mentah, bukan tak mungkin korupsi di sektor migas sulit diberantas dan swasembada energi menjadi utopia.
Secara alamiah produksi Migas di Tanah Air terus mengalami penurunan. Pada 1970 sampai 2000-an awal, Indonesia memang kaya Migas. Produksi minyak dari seluruh Kontrak Kerjasama Migas (KKKS) mengalami kenaikan.
Pada era itu, produksi Migas nasional di angka 1,6 juta barel oil per day (BOPD). Jumlah penduduk Indonesia juga belum sebanyak sekarang mencapai angka 260 juta jiwa.
Sementara lapangan-lapangan Migas potensial, seperti Blok Rokan (Riau/Chevron Pacific), Blok Mahakam (Total E&P sekarang ke Pertamina) dan Blok Cepu (Exxon Mobil dan Pertamina) mampu memproduksi minyak di atas 200.000 BOPD.
Produksi migas yang tinggi ditambah konsumsi rendah menjadikan Indonesia sebagai negara pengekspor Migas terbesar di Asia.
Namun, seiring berjalan waktu, ketika lapangan-lapangan Migas terus dieksplorasi, produksi Migas mengalami penurunan tajam. Lapangan-lapangan Migas baru yang potensial sulit ditemukan kembali seperti jaman dulu.
Dulu Chevron Pacific Indonesia menemukan lapangan Migas potensial di Blok Rokan (Riau) dengan produksi Migas di atas 200.000 barel oil per day (BOPD).
Sekarang produksi Blok Rokan terus turun di angka 150.000 BOPD. Blok Mahakam juga mengalami penurunan dan tak bisa lagi diandalkan untuk menaikan produksi Migas nasional.
Sekarang, produksi Migas benar-benar bertumpu pada lapangan-lapangan Migas Pertamina, seperti Blok Madura Offshore ataupun Blok Cepu yang dikelola Pertamina dan Exxon Mobil dengan angka produksi di atas 160.000 BOPD.
Produksi Migas nasional mulai 2010 mengalami penurunan di bawah 1.000.000 BOPD dan tahun ini sudah turun jauh diangka 590.000 BOPD.
Memang masih ada yang potensial, seperti di Blok East Natuna. Namun, setelah Exxon Mobil keluar dari blok itu karena alasan kandungan CO2 tinggi dan butuh biaya besar untuk memisahkan CO2, Pertamina tertatih-tatih mencari mitra masuk ke Blok East Natuna.
Jika lapangan-lapangan Migas baru tak ditemukan, produksi Migas nasional tentu terus menurun dan defisit neraca perdagangan terus melebar, berakibat langsung pada pembangunan nasional.
Pertamina sebagai perusahaan negara tentu tak bisa hanya bersandar pada produksi dan penjualan Migas untuk mendongkrak pendapatannya. Pertamina perlu melakukan diversifikasi bisnis jika ingin bersaing dengan kompetitornya.
Pertamina sudah memiliki Pertamina Geotermal Energi (PGEO) untuk transisi energi dan mendorong pemboran geothermal (panas bumi) untuk mengurangi penggunaan BBM pada sektor kelistrikan.
Pertamina juga ikut mendorong percepatan pengembangan ekosistem kendaraan listrik. Itu dilakukan untuk mengurangi penggunaan energi fosil.
Kebijakan kendaraan listrik sangat penting untuk menggeser kendaraan berbasis fosil. Indonesia adalah salah satu pasar otomotif terbesar di Asia.
Selama bertahun-tahun, mayoritas kendaraan Indonesia menggunakan energi fosil (BBM). Padahal, sejak tahun 2004, cadangan minyak kita terus menurun dari 1 juta barel per hari menjadi hanya 600.000 barel per hari tahun 2024.
Kemampuan produksi BBM di kilang milik Pertamina (Persero) juga hanya mencapai 800.000 barel per hari.
Dengan jumlah penduduk 260 juta jiwa dan mekarnya industri nasional, konsumsi domestik mencapai 1,5 juta barel per hari dan bisa terus meningkat ke depan seiring pertumbuhan jumlah penduduk yang pesat dan pertumbuhan ekonomi yang besar pula.
Maka, untuk mendorong swasembada energi, diversifikasi energi, seperti mendorong pengembangan ekosistem kendaraan listrik mutlak dilakukan.
Sejak tahun 2020, pemerintah terus mendorong pengembangan dan pemakaian kendaraan listrik untuk mengurangi kendaraan berbasis fosil.
Di kantor-kantor pemerintahan dan lingkungan BUMN diinstruksikan menggunakan kendaraan listrik. Begitupun transportasi publik, seperti Trans Jakarta, sudah mulai menggunakan kendaraan listrik.