
BANK Indonesia baru saja mengumumkan hasil Rapat Dewan Gubernur (RDG) pada 17–18 Juni 2025. Suku bunga acuan atau BI rate tetap dipertahankan di level 5,50 persen.
Keputusan ini disampaikan langsung oleh Gubernur BI Perry Warjiyo, yang menegaskan bahwa kebijakan ini diambil untuk menjaga stabilitas nilai tukar rupiah sekaligus mendorong pemulihan permintaan domestik.
Dalam situasi global yang masih bergejolak dan pertumbuhan ekonomi nasional yang belum optimal, keputusan untuk menahan BI rate pada angka ini mengandung pesan strategis yang penting.
Saat ini, inflasi Indonesia justru berada di level rendah, hanya 1,6 persen pada Mei 2025, jauh di bawah target Bank Indonesia yang berada di kisaran 2–4 persen. Namun, di sisi lain, pertumbuhan ekonomi melambat.
Pada kuartal pertama 2025, Produk Domestik Bruto (PDB) hanya tumbuh 4,87 persen—angka yang menunjukkan perlambatan dibandingkan target tahunan.
Baca juga: Menutup Kantor Cabang Bank Tanpa PHK
Di tengah dilema ini, Bank Indonesia memilih untuk tidak menurunkan suku bunga lebih lanjut, demi menjaga daya saing rupiah dan mengantisipasi tekanan dari luar negeri, termasuk gejolak suku bunga global dan fluktuasi harga minyak dunia.
Secara konsep, bank sentral akan menaikkan BI rate ketika tekanan inflasi meningkat tajam, nilai tukar rupiah melemah drastis, atau terjadi aliran modal keluar (capital outflow) yang membahayakan stabilitas moneter.
Hal ini juga biasa terjadi ketika negara mitra dagang utama, seperti Amerika Serikat, menaikkan suku bunganya, sehingga Indonesia perlu menyesuaikan agar selisih suku bunga (interest rate differential) tetap menarik bagi investor.
Sebaliknya, penurunan BI rate umumnya dilakukan ketika inflasi dalam kondisi rendah dan stabil, permintaan domestik lemah, pertumbuhan ekonomi melambat, dan sektor keuangan menunjukkan likuiditas yang cukup.
Ini adalah momen di mana pelonggaran moneter dibutuhkan untuk merangsang konsumsi, investasi, dan penyerapan tenaga kerja.
Adapun mempertahankan BI rate, seperti yang dilakukan saat ini, dilakukan ketika inflasi dan nilai tukar terkendali, tetapi ada ketidakpastian eksternal yang masih tinggi.
Dalam konteks saat ini, dengan tekanan geopolitik di Timur Tengah dan ketidakpastian arah kebijakan The Fed, BI memilih untuk menunggu dan melihat (wait and see) sambil memastikan transmisi kebijakan sebelumnya berjalan efektif.
Bagi sektor perbankan dan keuangan, kebijakan ini memberikan kepastian. Perbankan tetap bisa menjaga margin keuntungan, karena suku bunga kredit dan simpanan tidak mengalami guncangan besar.
Namun, tantangan tetap ada, terutama bagaimana bank bisa menyalurkan kredit ke sektor riil dengan bunga bersaing dan tetap menjaga risiko tetap rendah.
Baca juga: Daya Beli Melemah: Saatnya Pajak Pro-Kelas Menengah
Bank Indonesia telah menyediakan likuiditas tambahan sebesar Rp 372 triliun sejak awal tahun, yang diharapkan mampu mendorong penyaluran kredit, terutama kepada UMKM dan sektor-sektor strategis lainnya.