JAKARTA, KOMPAS.com - Persoalan harga beras di Tanah Air kembali menjadi sorotan lantaran lonjakan harga yang berulang membuat masyarakat terus terbebani, sementara kebijakan pemerintah dinilai belum menyentuh akar masalah.
Ombudsman mencatat salah satu instrumen utama yang menjaga stabilitas beras, yakni Harga Eceran Tertinggi (HET), perlu segera dievaluasi secara menyeluruh.
Anggota Ombudsman RI, Yeka Hendra Fatika, menyebut tanggung jawab menjaga stabilitas pangan ada di tangan Badan Pangan Nasional (Bapanas). Namun instrumen yang dimiliki lembaga itu, baik HET beras premium dan medium, hingga Harga Pembelian Pemerintah (HPP), belum mampu mencegah gejolak harga.
“Kita evaluasi dulu nih HET ini, kenapa? Karena tiap tahun rame terus. Jadi harus dievaluasi, tiap tahun rame terus, menjelang setelah musim panjang pasti persoalannya terjadi terus,” ujar Yeka saat ditemui di kawasan Jakarta Selatan, Selasa (27/8/2025).
Baca juga: Kebijakan Satu Harga Beras Dinilai Hambat Inovasi Teknologi Perberasan
Ia menilai instrumen resmi yang dimiliki pemerintah dalam menjaga stabilitas hanyalah melalui HET dan Harga Pembelian Pemerintah untuk gabah/beras di tingkat produsen.
Di luar instrumen tersebut, pemerintah tidak punya kewenangan melakukan intervensi harga.
Artinya, jika ada kebijakan tambahan seperti larangan membeli di bawah atau di atas harga tertentu, langkah ini dianggap bentuk intervensi baru yang dasar hukumnya lemah.
Karena itu, Ombudsman meminta sikap tersebut dipertimbangkan matang-matang.
Jika pemerintah melibatkan Satgas Pangan, maka perlu ada legitimasi hukum yang kuat agar intervensi tersebut tidak menjadi kebijakan tambahan yang rawan dipersoalkan.
“Bagaimana instrumennya? Nah sementara ini Badan Pangan Nasional ini ada HET, ada HET premium, ada HET medium, dan ada HPP untuk gabah. Di luar daripada itu, itu bukan bagian daripada intervensi, intervensi pemerintah,” paparnya.
“Nah, misalnya sekarang ada upaya untuk misalnya dilarang membeli harga di bawah, apa di atas Rp 6.500 itu merupakan bagian intervensi. Nah, saya tadi minta kalau ini memang ada peran dari Satgas Pangan, ini tolong dipertimbangkan karena dasar hukumnya pasti lemah,” lanjut Yeka.
Baca juga: Beras Lama Menumpuk di Bulog, Kerugian Negara Ditaksir Rp 1,2 Triliun
Lebih jauh, persoalan mendasar lain yang tak kalah krusial adalah soal ketersediaan beras nasional.
Produksi di dalam negeri hanya sekitar 31 juta ton per tahun, jumlah yang hampir sama dengan kebutuhan konsumsi nasional.
Kondisi tersebut membuat cadangan beras untuk stabilisasi harga nyaris tidak tersedia. Ketatnya keseimbangan antara produksi dan konsumsi semakin memperparah gejolak ketika distribusi atau pasokan terganggu.