Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

100.000 Ton Gula Petani Mangkrak, Pemerintah Bongkar Mafia Gula Rafinasi

Kompas.com - 11/09/2025, 15:59 WIB
Suparjo Ramalan ,
Teuku Muhammad Valdy Arief

Tim Redaksi

JAKARTA, KOMPAS.com - Pemerintah membongkar praktik mafia gula yang diduga menjadi penyebab serapan gula petani tersendat.

Sekitar 100.000 ton gula konsumsi hasil tebu petani menumpuk di gudang lantaran gula rafinasi yang diperdagangkan di pasar tradisional.

Wakil Menteri Pertanian (Wamentan), Sudaryono, menyebut kebocoran distribusi gula rafinasi itu merugikan petani dan berpotensi melanggar hukum.

Pasalnya raw sugar sejatinya hanya digunakan untuk kebutuhan industri saja dan dilarang dijual ke masyarakat.

Baca juga: Pemerintah Bakal Blacklist dan Pidanakan Produsen Nakal, Imbas Gula Rafinasi Bocor ke Pasar Tradisional

Harga gula rafinasi yang lebih murah membuat pedagang dan konsumen lebih memilih produk tersebut ketimbang gula konsumsi dari tebu petani.

Dampaknya, gula hasil giling pabrik berbahan tebu lokal menumpuk hingga 100.000 ton dan tidak terserap pasar.

“Efeknya adalah gula konsumsi yang diproduksi dari tabu petani yang digiling di pabrik gula, itu serapanya rendah. 100.000 ton macet (tidak terserap),” ujar Sudaryono saat ditemui di gedung Kemenko Pangan, Jakarta Pusat, Kamis (11/9/2025).

Soal volume gula rafinasi yang diperjualbelikan di pasar, Sudaryono mengaku dalam proses perhitungan.

Pemerintah, lanjutnya, telah menelusuri jalur distribusi yang menyebabkan kebocoran gula rafinasi ke pasar tradisional.

Sudaryono menegaskan, sanksi tegas akan dijatuhkan, baik kepada pedagang, importir, maupun perusahaan yang terbukti terlibat.

Bentuk sanksinya tidak hanya administratif berupa blacklist, tetapi juga kemungkinan pidana jika ditemukan pelanggaran hukum.

Baca juga: Danantara Gelontorkan Rp 1,5 Triliun untuk Serap Gula Petani, Berapa Realisasinya?

Dengan langkah tegas ini, pemerintah berharap praktik mafia gula bisa dihentikan dan petani tidak lagi menjadi korban permainan harga akibat peredaran komoditas tersebut.

“Namanya sudah petani yang dirugikan, dan dia ngambil untung dengan cara yang nggak benar, itu yang harus kita tegas ke sana, ke arah sana,” paparnya.

Dalam segala situasi, KOMPAS.com berkomitmen memberikan fakta jernih dari lapangan. Ikuti terus update topik ini dan notifikasi penting di Aplikasi KOMPAS.com. Download sekarang



Terkini Lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Unduh Kompas.com App untuk berita terkini, akurat, dan tepercaya setiap saat
QR Code Kompas.com
Arahkan kamera ke kode QR ini untuk download app
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar di Artikel Lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
atau