WASHINGTON DC, KOMPAS.com - Amerika Serikat (AS) pada Rabu (14/8/2024) mendesak panglima militer Sudan untuk bergabung dalam perundingan gencatan senjata.
Perundingan itu digelar di Swiss untuk mengakhiri perang yang menghancurkan Sudan. Perang telah berkecamuk sejak April 2023.
Dikutip dari AFP pada Kamis (15/8/2024), perang terjadi antara tentara Sudan di bawah penguasa de facto Sudan Abdel Fattah al-Burhan dan Pasukan Dukungan Cepat (RSF) paramiliter yang dipimpin oleh mantan wakilnya Mohamed Hamdan Daglo.
Baca juga: 3 Hari Serangan Paramiliter Sudan Menewaskan 65 Orang
Karena Burhan tidak hadir pada awal perundingan, Menteri Luar Negeri AS Antony Blinken mengajukan banding langsung kepadanya melalui telepon agar Burhan ikut bergabung.
Blinken menegaskan kembali perlunya partisipasi dalam panggilan teleponnya dengan Burhan, kata juru bicara Departemen Luar Negeri Vedant Patel.
Blinken memberitahunya tentang kebutuhan mendesak bagi kedua belah pihak untuk mengakhiri perang dan menjamin akses kemanusiaan bagi jutaan warga Sudan yang menderita.
Tom Perriello, utusan khusus AS untuk Sudan, mengatakan bahwa perundingan ini penting agar perang bisa berakhir.
Pembicaraan, yang bisa berlangsung hingga 10 hari, diadakan secara tertutup di lokasi yang dirahasiakan di Swiss.
Meskipun delegasi RSF ikut ambil bagian, angkatan bersenjata Sudan (SAF) tidak senang dengan format yang diatur oleh AS.
Baca juga: 100 Orang Tewas dalam Serangan Sebuah Desa di Sudan
Menteri Media Sudan Graham Abdelkader mengatakan menjelang perundingan bahwa pemerintah menolak pengamat atau peserta baru setelah Washington bersikeras partisipasi Uni Emirat Arab sebagai pengamat.
Tentara Sudan telah berulang kali menuduh UEA mendukung RSF, tetapi tuduhan itu dibantah oleh UEA.
Diketahui, pembicaraan tersebut diselenggarakan bersama oleh Arab Saudi dan Swiss, dengan Uni Afrika, Mesir, Uni Emirat Arab, dan PBB bertindak sebagai kelompok pengarah.
"Fokus kami adalah bergerak maju untuk mencapai penghentian permusuhan, meningkatkan akses kemanusiaan dan membangun mekanisme penegakan hukum yang memberikan hasil nyata," kata Perriello.
Konflik brutal di Sudan ini telah memicu salah satu krisis kemanusiaan terburuk di dunia.
Pertempuran tersebut telah memaksa satu dari lima orang meninggalkan rumah mereka, sementara puluhan ribu orang tewas.
Sedangkan lebih dari 25 juta orang di seluruh negeri, atau lebih dari separuh penduduknya menghadapi kelaparan akut.
Baca juga: PBB: Perang Sudan Ancam Hancurkan Seluruh Negeri
Vittorio Oppizzi, manajer program Sudan untuk badan amal medis Doctors Without Borders (MSF), mengatakan kedua pihak telah memanipulasi akses kemanusiaan yang melanggar hukum internasional.
Di saat situasi tidak menentu, Kompas.com tetap berkomitmen memberikan fakta jernih dari lapangan. Ikuti terus update terkini dan notifikasi penting di Aplikasi Kompas.com. Download di sini