KATHMANDU, KOMPAS.com - Demo Nepal pada Senin (8/9/2025) menewaskan 16 orang, setelah ribuan pengunjuk rasa bentrok dengan aparat keamanan di Kathmandu.
Gelombang demonstrasi ini terjadi setelah Pemerintah Nepal sejak Jumat (5/9/2025) memblokir 26 platform media sosial belum mendaftar ke Kementerian Informasi dan Teknologi, termasuk medsos populer seperti Facebook, YouTube, X, dan Instagram, ditambah dugaan korupsi pejabat.
Kebijakan itu memicu kemarahan publik, terutama generasi muda yang bergantung pada media sosial untuk hiburan, informasi, dan aktivitas ekonomi.
Baca juga: 211 Organisasi HAM Kecam Kekerasan Aparat RI dalam Pengamanan Demo
Pengunjuk rasa yang mayoritas terdiri dari anak muda memenuhi jalanan Ibu Kota Kathmandu.
Aksi mereka dibubarkan dengan tembakan gas air mata, peluru karet, meriam air, dan pukulan tongkat polisi ketika massa menerobos kawat berduri menuju kawasan terlarang di sekitar gedung parlemen.
“Saya belum pernah melihat situasi sesulit ini di rumah sakit,” ujar Ranjana Nepal, petugas informasi di Rumah Sakit Sipil Kathmandu, kepada AFP.
“Gas air mata bahkan sampai masuk ke area rumah sakit, membuat para dokter kesulitan bekerja,” lanjutnya.
Media lokal melaporkan bahwa polisi sempat melepaskan tembakan langsung ke arah massa. Namun, informasi tersebut belum dapat diverifikasi secara independen oleh AFP.
Juru bicara kepolisian Lembah Kathmandu, Shekhar Khanal, mengonfirmasi jumlah korban tewas.
“16 orang telah meninggal dunia. Sekitar seratus orang sedang dirawat, termasuk beberapa polisi,” kata Khanal.
Menanggapi situasi yang memburuk, pemerintah distrik memberlakukan jam malam di sejumlah titik strategis Kathmandu, termasuk kawasan parlemen, kediaman presiden, dan kompleks kantor perdana menteri Singha Durbar.
Sebagian pengunjuk rasa sempat memanjat tembok gedung parlemen dan merusak gerbang utama. Gelombang protes juga dilaporkan meluas ke beberapa distrik lain di seluruh Nepal.
Baca juga: Alasan Prabowo Tetap ke China meski Marak Demo di Indonesia
Para pengunjuk rasa juga menyuarakan kemarahan terhadap praktik korupsi yang dinilai telah merajalela di Nepal.
“Kami terpicu oleh larangan media sosial, tetapi itu bukan satu-satunya alasan kami berkumpul di sini,” kata Yujan Rajbhandari, mahasiswa berusia 24 tahun.