TEL AVIV, KOMPAS.com – Mahkamah Agung Israel memutuskan bahwa pemerintah Israel secara sengaja merampas makanan, bahkan dalam jumlah minimum, dari ribuan tahanan Palestina di tengah perang yang berkecamuk di Gaza.
Keputusan itu dijatuhkan pada Minggu (7/9/2025) oleh panel tiga hakim, setelah dua organisasi hak asasi manusia Israel mengajukan permohonan ke pengadilan.
Putusan ini dianggap langka, mengingat selama hampir dua tahun perang, Mahkamah Agung sebagian besar menahan diri untuk tidak mengintervensi kebijakan pemerintah maupun militer.
Baca juga: Hamas Siap Berunding setelah Trump Ultimatum soal Sandera Gaza
Dalam sidang tersebut, majelis hakim menyatakan bahwa pemerintah memiliki kewajiban hukum untuk menyediakan makanan tiga kali sehari bagi para tahanan. Tujuannya untuk menjamin “tingkat kehidupan dasar”.
“Kita tidak berbicara di sini tentang kehidupan yang nyaman atau kemewahan, tetapi tentang kondisi dasar untuk bertahan hidup sebagaimana diwajibkan oleh hukum. Janganlah kita ikut-ikutan dengan cara-cara musuh terburuk kita,” demikian bunyi putusan pengadilan, sebagaimana diberitakan Al Jazeera pada Senin (8/9/2025).
Dalam putusan dua banding satu, pengadilan juga mengabulkan petisi dari Asosiasi Hak Sipil di Israel (ACRI) dan Gisha.
Kedua kelompok itu menuding pemerintah dengan sengaja membatasi makanan bagi tahanan Palestina, yang menyebabkan malnutrisi dan kelaparan di fasilitas penahanan.
Baca juga: Greta Thunberg Desak PM Inggris Hentikan Genosida di Gaza
Sejak perang dimulai, tentara Israel menangkap ribuan warga Palestina dari Gaza maupun Tepi Barat yang diduduki. Banyak tahanan ditahan atas dasar dugaan keterlibatan dalam “terorisme”.
Mereka yang telah dibebaskan menggambarkan kondisi penahanan yang brutal, meliputi penyiksaan, penganiayaan, kekurangan makanan, minim perawatan medis, sel penjara yang padat, hingga merebaknya penyakit.
ACRI mengaku stafnya menjadi sasaran pelecehan verbal dan intimidasi dari pejabat senior pemerintah serta anggota parlemen sayap kanan selama proses sidang di Mahkamah Agung.
“Ledakan kemarahan mulai tampak kurang seperti unjuk kekuatan dan intimidasi, melainkan lebih seperti serangan putus asa,” demikian pernyataan ACRI pada akhir Juli lalu.
Baca juga: Demo Warga Israel Tuntut Trump Akhiri Perang di Gaza dan Selamatkan Sandera
Putusan Mahkamah Agung memicu kemarahan Menteri Keamanan Nasional Israel, Itamar Ben-Gvir, yang dikenal sebagai politikus sayap kanan ekstrem dan sekutu Perdana Menteri Benjamin Netanyahu.
Ben-Gvir menuding hakim tidak berpihak pada kepentingan negara Israel.
“Para sandera kami di Gaza tidak memiliki Mahkamah Agung untuk melindungi mereka,” tulis Ben-Gvir di platform X.
Ia menambahkan, “Kami akan terus memberikan kondisi minimum yang diwajibkan hukum kepada para teroris yang dipenjara”.
Bulan lalu, Ben-Gvir sempat mengunjungi sel pemimpin Fatah yang lama dipenjara, Marwan Barghouti.
Baca juga: Animasi Populer Upin dan Ipin Sampaikan Harapan untuk Indonesia
Dalam kunjungan itu, ia terekam mengejek Barghouti, tindakan yang memicu kecaman luas dari warga Palestina serta kelompok-kelompok hak asasi manusia.
Di saat situasi tidak menentu, Kompas.com tetap berkomitmen memberikan fakta jernih dari lapangan. Ikuti terus update terkini dan notifikasi penting di Aplikasi Kompas.com. Download di sini