Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Arif Darmawan
Dosen

Dosen tetap di Jurusan Hubungan Internasional FISIP Universitas Jenderal Soedirman (UNSOED), Koordintor Pusat Riset Kebijakan Strategis Asia Tenggara, LPPM UNSOED

Dampak Pernyataan Bersama RI-China 2024: Peluang, Risiko, dan Implikasi Regional

Kompas.com - 14/11/2024, 09:27 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

PERNYATAAN bersama Indonesia-China yang dikeluarkan pada November 2024, mencerminkan paradoks strategis yang kompleks dalam dinamika politik regional Asia Tenggara.

Di satu sisi, langkah ini menunjukkan pragmatisme Indonesia dalam mengejar kepentingan ekonomi nasionalnya. Namun di sisi lain, keputusan ini berpotensi mengikis fondasi diplomatik yang telah dibangun Indonesia selama bertahun-tahun di kawasan ASEAN.

Terminologi "komunitas masa depan bersama" yang digunakan dalam pernyataan tersebut bukan sekadar pilihan kata diplomatik, melainkan mengandung implikasi geopolitik yang mendalam.

Istilah ini identik dengan narasi diplomatik China yang kerap dipandang sebagai instrumen soft power dalam ekspansi pengaruhnya di kawasan.

Pilihan Indonesia untuk mengadopsi kerangka kerja sama bilateral yang sedemikian erat dengan China menimbulkan pertanyaan serius tentang komitmennya terhadap prinsip ASEAN Centrality.

Sebagai negara terbesar di ASEAN dengan posisi strategis yang vital, setiap langkah diplomatik Indonesia memiliki dampak berganda terhadap dinamika regional.

Joint statement ini secara tidak langsung telah menciptakan preseden yang berpotensi memperlemah posisi kolektif ASEAN dalam menghadapi ekspansi pengaruh China di kawasan, terutama dalam konteks sengketa Laut China Selatan.

Tantangan terhadap kredibilitas dan kedaulatan

Permasalahan menjadi semakin pelik ketika mempertimbangkan posisi Indonesia sebagai non-claimant state yang selama ini berperan sebagai honest broker dalam sengketa Laut China Selatan.

Melalui pernyataan bersama ini, kredibilitas Indonesia sebagai mediator netral menjadi dipertanyakan.

Negara-negara ASEAN yang memiliki klaim teritorial tumpang tindih dengan China—seperti Vietnam, Filipina, dan Malaysia—dapat memandang langkah Indonesia ini sebagai bentuk pengabaian terhadap kepentingan kolektif ASEAN.

Terlebih lagi, ketiadaan referensi eksplisit terhadap UNCLOS sebagai kerangka hukum fundamental dalam penyelesaian sengketa maritim semakin memperkeruh situasi.

Dalam konteks Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia di perairan Natuna, pernyataan bersama ini justru berpotensi memperlemah posisi Indonesia.

Meskipun Indonesia bukan claimant state dalam sengketa Laut China Selatan, overlap antara nine-dash line China dengan ZEE Indonesia di perairan Natuna merupakan isu sensitif yang membutuhkan ketegasan sikap.

Ambiguitas dalam joint statement mengenai isu ini dapat diinterpretasikan sebagai kelonggaran sikap Indonesia terhadap klaim sepihak China, yang pada gilirannya dapat menciptakan preseden berbahaya bagi integritas teritorial Indonesia dan memicu efek domino dalam dinamika hubungan intra-ASEAN.

Di tengah kompleksitas ini, Indonesia perlu melakukan manuver diplomatik yang cermat untuk memitigasi dampak negatif dari keputusannya.

Halaman:

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
atau