WASHINGTON DC, KOMPAS.com – Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu telah mengajukan nama Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump sebagai kandidat Penghargaan Nobel Perdamaian.
Hal ini disampaikan oleh Netanyahu pada Senin (7/7/2025) waktu setempat di Gedung Putih, sambil mengatakan bahwa Trump pantas menerima penghargaan tersebut.
Dalam surat yang dibagikan secara daring kepada Komite Nobel, Netanyahu menulis bahwa Trump telah menunjukkan “komitmen luar biasa dalam memajukan perdamaian, keamanan, dan stabilitas di seluruh dunia.”
Baca juga: Trump Dinominasikan Raih Nobel Perdamaian oleh Netanyahu
Jika Trump benar-benar terpilih, ia akan menjadi presiden AS kelima yang memenangkan Nobel Perdamaian, menyusul Theodore Roosevelt, Woodrow Wilson, Jimmy Carter, dan Barack Obama.
Dikutip dari Reuters, Rabu (9/7/2025), Trump tidak akan bisa memenangkan Penghargaan Nobel Perdamaian tahun ini.
Pasalnya, batas waktu nominasi ditutup pada Januari lalu, sehingga pengajuan dari Netanyahu tidak bisa dipertimbangkan untuk penghargaan tahun ini.
Sementara itu, Pengumuman pemenang Nobel Perdamaian 2025 akan dilakukan pada 10 Oktober di Oslo, Norwegia.
Saat ini, Trump tengah mencoba menengahi gencatan senjata antara Israel dan Hamas di Gaza.
Hamas bahkan dilaporkan memberi sinyal positif terhadap usulan gencatan senhata tersebut.
Hal itu membuat Netanyahu merasa perlu menominasikan Trump sebagai peraih Nobel Perdamaian.
Namun, Netanyahu bukan satu-satunya. Sebelumnya, Pemerintah Pakistan juga mengumumkan akan mencalonkan Trump atas perannya dalam meredakan ketegangan antara India dan Pakistan.
Meski demikian, pencalonan terbaru dari Netanyahu ini menimbulkan skeptisisme di sejumlah kalangan.
Mantan Perdana Menteri Swedia, Carl Bildt, bahkan menyebut langkah Netanyahu sebagai upaya “menjilat” Trump.
Baca juga: Pakistan Berterima Kasih pada Trump Usai Gencatan Senjata Tercapai
Menurut wasiat penemu Alfred Nobel, penghargaan ini ditujukan bagi siapa saja yang "telah paling berjasa dalam memajukan persaudaraan antarbangsa, menghapus atau mengurangi kekuatan militer tetap, serta menggalakkan kongres perdamaian.”
Dalam praktiknya, siapa pun yang masih hidup atau lembaga yang aktif bisa menjadi penerima Nobel Perdamaian.