SEOUL, KOMPAS.com - Pada 6 Agustus 1945, bom atom Amerika Serikat (AS) membumihanguskan Hiroshima, Jepang, membuat ribuan pekerja Korea beserta keluarganya mengalami trauma.
Melansir AFP pada Senin (4/8/2025), banyak warga Korea diliputi rasa takut akan stigma bekerja untuk penjajah Jepang, dan rumor palsu bahwa penyakit radiasi bisa menular.
Meski telah 80 tahun berlalu, Bae Kyung Mi yang saat itu berusia lima tahun masih mengingat bagaimana pesawat AS pembawa bom terbang di atas rumah warga saat dia sedang bermain pada hari itu.
Baca juga: Korban Bom Atom Nagasaki: Putin Tak Tahu Kengerian Perang Nuklir
"Saya berkata kepada ibu saya dalam bahasa Jepang, 'Ibu! Ada pesawat!'" kata Bae, yang kini berusia 85 tahun, kepada AFP.
Dalam hitungan menit, dia tertimbun puing-puing dan pingsan tak lama setelah itu.
Rumahnya roboh menimbun dirinya, tetapi puing-puing rumahnya melindungi tubuhnya dari luka bakar yang membunuh puluhan ribu orang, termasuk bibi dan pamannya.
Setelah keluarganya pindah kembali ke Korea, mereka tidak membicarakan pengalaman mereka.
"Saya tidak pernah memberitahu suami saya bahwa saya berada di Hiroshima dan menjadi korban pemboman," kata Bae.
"Pada waktu itu, orang sering mengatakan bahwa kamu telah menikahi orang yang salah, jika dia adalah seorang penyintas bom atom," ungkapnya.
Ia mengatakan, kedua putranya baru mengetahui bahwa ibunya berada di Hiroshima saat serangan bom atom itu, ketika dia mendaftarkan diri di sebuah pusat khusus yang didirikan pada 1996 di Hapcheon, Korea Selatan, sebagai korban pemboman.
Bae mengatakan dia khawatir anak-anaknya akan menderita penyakit terkait radiasi.
Sehingga, ia terpaksa untuk mengikuti prosedur pengangkatan indung telur dan payudara karena risiko kanker yang tinggi.
Dia tahu mengapa dia sakit, tetapi tidak memberitahukan keluarganya sendiri.
“Kami semua menutupinya,” ucapnya merujuk pada para orang Korea korban bom atom Hiroshima dan Nagasaki.
Sekitar 740.000 orang tewas atau terluka dalam serangan bom atom di Hiroshima dan Nagasaki.