JAKARTA, KOMPAS.com — Sengkarut tata kelola royalti lagu dan musik kembali bergulir ke Mahkamah Konstitusi (MK).
Kali ini, giliran Aliansi Pencinta Musik Indonesia (APMI) yang menggugat Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta karena dianggap melahirkan dualisme kewenangan antara LMK (Lembaga Manajemen Kolektif) dan LMKN (Lembaga Manajemen Kolektif Nasional).
Baca juga: Bukan Cuma VISI, Aliansi Pencinta Musik Juga Gugat UU Hak Cipta ke MK, Sorot Kinerja LMKN
Gugatan itu terdaftar dalam perkara nomor 30/PUU-XXIII/2025 dan telah disidangkan perdana pada Kamis, 24 April 2025.
APMI menilai Pasal 89 ayat (1) hingga (4) UU Hak Cipta membuka ruang pembentukan LMKN tanpa dasar hukum yang kuat, sekaligus menimbulkan ketidakpastian hukum dalam distribusi royalti para pencipta lagu.
Baca juga: Tanggapi Postingan Piyu soal Royalti, Fadly Padi: Kapan Kita Bicara Langsung?
Permohonan uji materi ini diajukan oleh enam orang yang mewakili berbagai peran dalam dunia musik — dari pencipta lagu, penyanyi, hingga penggiat seni.
Mereka adalah M. Ali Akbar, Ento Setio Wibowarno, Pamungkas Narashima Murti, Sugiyatno, Muhammad Gusni Putra, dan Anton Setyo Nugroho selaku inisiator APMI.
Baca juga: Kritik 29 Penyanyi yang Uji Materi UU Hak Cipta ke MK, Piyu Padi: Enggak Habis Pikir, Sumpah
Menurut mereka, keberadaan LMKN tidak disebutkan dalam definisi resmi di UU Hak Cipta.
Justru, Pasal 1 butir 22 hanya menyebut LMK sebagai badan hukum nirlaba yang sah mewakili kepentingan pencipta dan pemilik hak untuk menarik serta mendistribusikan royalti.
“Norma tersebut hanya mengatur kewenangan satu entitas yang bernama Lembaga Manajemen Kolektif (LMK) dan tidak menyebutkan entitas lainnya. Oleh sebab itu, pembentukan LMKN merupakan ultra vires melampaui kewenangan yang diberikan oleh undang-undang induknya,” jelas Anton Setyo Nugroho dalam sidang panel di MK seperti dilansir situs resmi MK, dikutip Rabu (30/4/2025).
APMI juga menyebut dualisme antara LMK dan LMKN menimbulkan kebingungan di kalangan pencipta lagu.
Akibat tumpang tindih kewenangan, banyak pencipta mengalami keterlambatan pembayaran royalti atau bahkan tidak tahu harus menagih ke siapa.
Selain itu, tersentralisasinya pengelolaan royalti di LMKN dianggap mengabaikan partisipasi pencipta dalam menentukan tarif dan mekanisme pembagian.
Baca juga: Sidang Uji Materi UU Hak Cipta, Hakim MK Isra Saldi Nasihati Ariel NOAH dan Kawan-kawan
Ini dinilai bertentangan dengan prinsip keadilan dan hak milik yang dijamin dalam Pasal 28D ayat (1) dan Pasal 28H ayat (4) UUD 1945.
“Memohon agar Mahkamah menyatakan frasa 'nasional' dalam Pasal 89 ayat (1) UU Nomor 28 Tahun 2014 tidak dapat diartikan sebagai dasar pembentukan lembaga baru bernama Lembaga Manajemen Kolektif Nasional (LMKN); menyatakan mekanisme pengelolaan royalti tetap dilakukan oleh Lembaga Manajemen Kolektif (LMK) sebagaimana yang telah berlaku sebelumnya, tanpa intervensi dari entitas perantara yang tidak diperlukan; memerintahkan kepada pembentuk undang-undang untuk melakukan revisi terhadap UU Nomor 28 Tahun 2014 sebagai akibat atas pertentangannya dengan UUD 1945 agar lebih sesuai dengan perkembangan dinamika sosial, ilmu pengetahuan dan teknologi; dan memerintahkan dalam revisi terhadap UU Nomor 28 Tahun 2014 pembentukan lembaga khusus sebagai forum komunikasi bagi pemangku kepentingan dalam industri musik dan budaya, namun bukan sebagai pemungut royalti,” tutur Anton Setyo Nugroho membacakan petitum para Pemohon.
Baca juga: Tersinggung Postingan Piyu soal Royalti, Fadly Padi: Saya Punya Harga Diri, Brother
Dalam permohonannya, APMI meminta Mahkamah Konstitusi untuk: