KOMPAS.com - Sektor perhotelan di Jakarta menghadapi tantangan yang tidak biasa di semester pertama 2025. Alih-alih ramai, tingkat hunian hotel justru mengalami penurunan signifikan.
Data menunjukkan, tingkat hunian hingga Juni 2025 mencapai 57,0 persen, turun 4,0 persen dibandingkan periode yang sama tahun lalu.
Baca juga: Merauke Bakal Punya Hotel Bintang Empat Bertaraf Internasional Perdana
Analisis Cushman and Wakefield Indonesia mengungkap dua faktor utama di balik anjloknya tingkat hunian ini, yang salah satunya adalah banyaknya hari libur panjang.
Menurut Director Strategic Consulting Cushman and Wakefield Indonesia Arief N Rahardjo, penurunan tingkat hunian ini terjadi karena dua hal:
Kebijakan Penghematan Pemerintah
Kebijakan efisiensi anggaran pemerintah, terutama yang membatasi perjalanan dinas dan acara resmi, berdampak langsung pada hotel-hotel yang bergantung pada aktivitas Meetings, Incentives, Conferences, and Exhibitions (MICE) dari instansi pemerintah dan BUMN.
Baca juga: 5 Hotel Berbintang di Jakarta Barat untuk Orang Tua Jenguk Anak Kuliah
Penurunan terbesar terjadi pada hotel bintang 4, yang sangat mengandalkan segmen ini.
Banyaknya Libur Panjang
Semester pertama 2025 dipenuhi dengan banyak hari libur panjang, seperti Isra Mi'raj, Tahun Baru Imlek, Nyepi, Idulfitri, Paskah, Waisak, Kenaikan Isa Almasih, Iduladha, dan Tahun Baru Islam.
"Momen ini mendorong warga Jakarta untuk berlibur ke luar kota, sehingga mengurangi aktivitas pertemuan di hotel, terutama pada hari kerja," ujar Arief.
Meski tingkat hunian anjlok, pasokan hotel di Jakarta justru bertambah dengan beroperasinya dua hotel baru: d’primahotel PIK Jakarta dan ARTOTEL Hub Simpang Temu.
Baca juga: Tahun 2026 Serpong Punya Hotel Baru, Tersambung Langsung ke Mal
Penambahan 159 kamar ini membuat total pasokan kumulatif hotel di Jakarta mencapai 44.016 kamar.
Menariknya, di tengah penurunan permintaan dan persaingan yang meningkat, rata-rata tarif harian (ADR) hotel tetap menunjukkan pertumbuhan.
Hotel mewah mencatat kenaikan tertinggi sebesar 5,8 persen YoY, menunjukkan bahwa segmen ini lebih stabil karena menargetkan tamu individu dan acara korporat atau privat.
Menanggapi situasi ini, para pelaku bisnis perhotelan di Jakarta mulai mengambil langkah strategis.
Baca juga: Periode Booking Hotel di Bali Makin Pendek, Pertanda Apa?
Mereka kini berfokus pada diversifikasi pasar, tidak lagi hanya mengandalkan pemerintah. Hotel-hotel mulai menargetkan perusahaan swasta, asosiasi profesional, komunitas, dan partai politik.
Pemerintah Provinsi DKI Jakarta juga turut membantu dengan memberikan insentif pajak, berupa potongan sebesar 50 persen selama dua bulan pertama dan dilanjutkan 20 persen di bulan-bulan berikutnya.
Baca juga: Industri Hotel Bali di Persimpangan, Pengelola Putar Otak Gaet Gen Z
"Diharapkan, insentif ini dapat mendorong pemulihan sektor perhotelan dan meningkatkan kinerja pasar secara keseluruhan pada paruh kedua 2025," ucap Arief.
Dengan adanya strategi baru dari pelaku bisnis dan dukungan pemerintah, pasar hotel di Jakarta diperkirakan akan membaik secara bertahap, menjadikannya lebih tangguh dan tidak terlalu bergantung pada satu segmen pasar saja.
Di saat situasi tidak menentu, Kompas.com tetap berkomitmen memberikan fakta jernih dari lapangan. Ikuti terus update terkini dan notifikasi penting di Aplikasi Kompas.com. Download di sini