JAKARTA, KOMPAS.com - Akademisi Prodi Teknik Sipil Unika Soegijapranata dan Wakil Ketua Pemberdayaan dan Pengembangan Wilayah Masyarakat Transportasi Indonesia (MTI) Pusat Djoko Setijowarno menilai, program Makan Bergizi Gratis (MBG) dikhawatirkan dapat mengorbankan anggaran layanan publik seperti infrastruktur, keselamatan, transportasi, dan lain sebagainya.
Padahal, ketersediaan angkutan umum sejatinya berkaitan erat dengan isu kemiskinan, bukan semata-mata kemacetan. Sebab, daerah-daerah miskin seringkali terisolasi karena sulitnya akses transportasi.
"Sangat disayangkan jika anggaran untuk transportasi umum harus dikorbankan demi mendukung program lain, seperti Program MBG. Sejatinya, angkutan umum harus dipandang sebagai alat menjangkau dan memberdayakan kaum kurang beruntung," terang Djoko dalam rilisnya, Senin (7/9/2025).
Baca juga: Wamen PU Ungkap Alasan Dapur MBG Tak Kunjung Dimulai, Belum Ada Uangnya
Sebab, angutan umum yang tidak dikelola dengan baik dapat memicu berbagai masalah sosial. Sebagai contoh, di beberapa wilayah Jawa Tengah, ketiadaan angkutan umum menyebabkan anak-anak putus sekolah.
Fenomena ini tidak berhenti di situ, angka putus sekolah yang tinggi berkorelasi dengan peningkatan pernikahan dini, yang pada gilirannya berpotensi meningkatkan jumlah kelahiran bayi stunting.
Penyediaan layanan angkutan umum di setiap kawasan perumahan dapat menjadi solusi untuk mengurangi banyaknya proyek perumahan yang mangkrak.
Angkutan umum adalah kunci vital bagi aksesibilitas warga terhadap beragam kebutuhan, yang pada akhirnya memengaruhi kesejahteraan mereka.
"Tanpa dukungan pemerintah dalam menyediakan angkutan umum, akses warga akan tersendat, dan upaya mencapai kesejahteraan akan terhambat," lanjutnya.
Menurut Djoko, keberlanjutan infrastruktur dan transportasi yang berkeselamatan adalah konsep penting yang menggabungkan tiga pilar utama.
Ini yakni pembangunan infrastruktur berkelanjutan secara ekonomi dan lingkungan, sistem transportasi efisien, dan paling krusial adalah jaminan keselamatan bagi seluruh pengguna.
Dalam Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) Tahun Anggaran (TA) 2026, MBG didapuk menjadi program utama dengan anggaran fantastis sebesar Rp 335 triliun.
Program ini bersanding dengan ketahanan pangan (Rp 164,4 triliun), ketahanan energi (Rp 402,4 triliun), perumahan, serta pertahanan dan keamanan (Rp 425 triliun).
Baca juga: 12 Kabupaten Belum Punya Dapur Umum MBG, Terbanyak di Papua
Sementara itu, program pendukungnya hanya mencakup pendidikan (Rp 575,8 triliun) dan kesehatan (Rp 244 triliun).
Penetapan anggaran yang sangat besar ini menunjukkan komitmen terhadap program tersebut, namun sekaligus memunculkan kekhawatiran tentang prioritas.
"Dengan dana sebesar itu, apakah program-program lain yang tidak kalah pentingnya, seperti keberlanjutan infrastruktur dan transportasi yang berkeselamatan, akan terabaikan?," tanya Djoko.
"Hal ini memunculkan pertanyaan, bagaimana program-program utama itu bisa efektif tanpa dukungan infrastruktur dan transportasi?" lanjutnya lagi.
Sebagaimana diketahui, daerah miskin sering kali memiliki aksesibilitas yang sangat buruk akibat minimnya infrastruktur dan transportasi umum yang memadai.
Tanpa elemen-elemen ini, daerah tersebut akan sulit keluar dari kemiskinan, bahkan mengalami inflasi tinggi dan stagnasi ekonomi.
"Oleh karena itu, semua program utama dan pendukung akan terasa manfaatnya secara maksimal jika didukung oleh infrastruktur dan transportasi yang kuat," tandas Djoko.
Di saat situasi tidak menentu, Kompas.com tetap berkomitmen memberikan fakta jernih dari lapangan. Ikuti terus update terkini dan notifikasi penting di Aplikasi Kompas.com. Download di sini