Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Kompas.com - 30/01/2025, 12:26 WIB
Wisnubrata

Penulis

KOMPAS.com - Ilmuwan di China telah berhasil mengembangkan metode baru untuk membiakkan anak tikus dengan dua ayah biologis, dan yang lebih mengejutkan, anak tikus ini mampu bertahan hingga dewasa. Penelitian ini dipublikasikan pada 28 Januari di jurnal Cell Stem Cell dan membuka wawasan baru tentang kompleksitas genetik dalam proses reproduksi.

Sebelumnya, pada tahun 2023, ilmuwan di Jepang telah berhasil menciptakan tikus dengan dua ayah melalui pendekatan berbeda. Namun, penelitian terbaru dari China tidak hanya berhasil mengembangkan tikus yang dapat hidup hingga dewasa, tetapi juga mengungkap lebih banyak informasi tentang gen "imprinting" yang mempengaruhi perkembangan embrio. Kesalahan pada gen ini dapat menyebabkan gangguan seperti sindrom Angelman pada manusia.

Keith Latham, profesor ilmu hewan dan biologi reproduksi di Michigan State University yang tidak terlibat dalam penelitian ini, mengapresiasi terobosan tersebut. "Saya mengagumi penelitian ini—saya pikir ini adalah pendekatan yang penting," ujarnya.

Baca juga: Benarkah Gajah Takut pada Tikus?

Modifikasi Gen untuk Mencapai Keberhasilan

Berbeda dengan metode Jepang yang mengubah sel kulit tikus jantan menjadi sel induk yang dapat berkembang menjadi sel telur, ilmuwan China mengambil pendekatan lain. Mereka mengeluarkan DNA dari sel telur tikus betina yang belum matang, kemudian menggabungkan sperma ke dalamnya untuk menghasilkan sel induk embrionik khusus. Sel induk ini kemudian diinjeksi ke dalam sel telur kedua bersama sperma dari tikus jantan lainnya, menghasilkan embrio dengan DNA dari dua ayah.

Langkah penting dalam penelitian ini adalah pengeditan genetik yang dilakukan pada sel induk. Para ilmuwan membuat 20 modifikasi pada gen imprinting, yang secara alami hanya membutuhkan satu salinan aktif dari masing-masing induk. Ketika gen imprinting tidak berfungsi dengan baik, dapat terjadi gangguan pertumbuhan dan perkembangan.

"Pendekatan kami secara langsung menargetkan gen imprinting, yang telah lama dicurigai menjadi penghalang utama dalam reproduksi bipaternal," jelas Zhi-kun Li, salah satu penulis utama studi dari Chinese Academy of Sciences di Beijing.

Baca juga: Sengatan Belut Listrik Modifikasi Genetik Larva Ikan, Kok Bisa?

Hasil Penelitian dan Tantangan yang Masih Ada

Pada studi sebelumnya, tim Li hanya memodifikasi tujuh lokasi genetik dan berhasil menciptakan janin tikus, tetapi mereka tidak bertahan setelah lahir. Mereka mengalami kelainan seperti hernia umbilikalis, lidah menonjol, dan organ dalam yang membesar. 

Dengan meningkatkan jumlah modifikasi genetik menjadi 18, tikus dapat bertahan tetapi memerlukan bantuan untuk menyusu. Setelah menambah satu lagi menjadi 19, mereka mengalami masalah pertumbuhan plasenta selama kehamilan. Namun, setelah melakukan total 20 modifikasi, masalah plasenta ini dapat diatasi.

Menariknya, para peneliti menemukan bahwa menciptakan keturunan dari dua ayah lebih sulit dibandingkan dengan dua ibu. Penelitian sebelumnya menunjukkan bahwa tikus dengan dua ibu dapat bertahan hingga dewasa dengan lebih sedikit modifikasi genetik, bahkan beberapa spesies hewan di alam dapat berkembang biak tanpa fertilisasi (parthenogenesis).

Meski demikian, penelitian ini masih menghadapi tantangan. Tikus hasil rekayasa genetik ini memiliki umur lebih pendek dibandingkan tikus biasa dan mengalami infertilitas. Sebaliknya, tikus yang diciptakan di Jepang sebelumnya dapat bertahan hingga dewasa dan tetap subur.

Baca juga: Seperti Apa Cumi-cumi Transparan Hasil Rekayasa Genetik Ilmuwan?

Masa Depan dan Potensi Aplikasi

Li menyatakan bahwa langkah selanjutnya adalah menyempurnakan teknik pengeditan gen agar dapat menghasilkan keturunan bipaternal yang lebih sehat. Selain itu, mereka berencana untuk mencoba pendekatan ini pada spesies hewan lain guna memahami lebih jauh penerapannya.

Dalam jangka panjang, penelitian ini berpotensi membantu ilmuwan memahami lebih baik gangguan imprinting pada manusia dan mungkin mengarah pada pengobatan baru melalui terapi gen. Latham menambahkan bahwa dengan memahami jalur genetik yang terlibat, ilmuwan mungkin dapat mengembangkan obat-obatan untuk mengatasi gangguan ini tanpa perlu melakukan pengeditan gen.

Namun, penerapan teknologi ini pada manusia masih menjadi perdebatan etis yang kompleks. "Banyak hambatan teknologi dan pertimbangan etika yang menghalangi aplikasi klinis dalam waktu dekat," ujar Dr. Kotaro Sasaki dari University of Pennsylvania.

Meskipun penelitian ini membuka cakrawala baru dalam bidang biologi reproduksi, masih banyak tantangan yang harus diatasi sebelum dapat diterapkan pada spesies lain, apalagi manusia.

Baca juga: Nyamuk Rekayasa Genetik untuk Melawan Zika

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.



Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Komentar
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
atau