KOMPAS.com - Desa Mundu di Kecamatan Tulung, yang terletak di Kabupaten Klaten, Jawa Tengah, dikenal sebagai salah satu daerah penghasil susu sapi, seperti tetangganya di Boyolali. Dengan populasi sapi perah yang cukup tinggi, limbah kotoran sapi menjadi salah satu tantangan lingkungan yang perlu dikelola dengan baik. Dahulu pernah ada masa, ketika kotoran sapi menumpuk, orang membuangnya ke sungai.
Kebetulan sungai yang melewati desa itu adalah Sungai Pusur, yang mengalir hingga Kecamatan Polanharjo di bawahnya, dan kini dikenal dengan wisata river tubing. Sungai Pusur juga dimanfaatkan untuk pengairan sawah, hingga sampai Delanggu, sebelum bergabung dengan Bengawan Solo. Bisa dibayangkan bila sungai yang dipakai untuk wisata ternyata jadi tempat pembuangan kotoran sapi kan?
Tapi jangan khawatir, itu kejadian dahulu, ketika Sungai Pusur sendiri masih dijadikan tempat pembuangan sampah oleh warga, dan sebelum dimanfaatkan menjadi sungai wisata.
Baca juga: River Tubing dan Bank Sampah: Kisah Warga Menghidupkan Kembali Sungai Pusur
Pada tahun 2014, Lembaga Pengembangan Teknologi Pedesaan (LPTP), sebuah lembaga yang berfokus pada program pendampingan dan pemberdayaan masyarakat di pedesaan bersama CSR Aqua melakukan pendekatan pada masyarakat dan menawarkan program Kampung Mandiri Energi dengan memanfaatkan limbah kotoran sapi menjadi biogas.
Ya, kotoran sapi yang selama ini dianggap sebagai limbah, ternyata memiliki potensi besar sebagai sumber energi terbarukan. Melalui proses anaerobik digestion, kotoran sapi dapat diubah menjadi biogas yang mengandung metana (CH4), gas yang dapat digunakan sebagai bahan bakar untuk memasak, penerangan, dan bahkan pembangkit listrik. Proses ini tidak hanya mengurangi limbah kotoran sapi yang mencemari lingkungan, tetapi juga menghasilkan pupuk organik sebagai hasil sampingannya.
Di Desa Mundu, pemanfaatan kotoran sapi menjadi biogas awalnya diperkenalkan lewat percontohan kepada kelompok ternak Margomulyo. Anggota kelompok ini antusias karena mereka memang sedang mencari solusi untuk memanfaatkan limbah kotoran sapi.
"Ya awalnya kami memang pengen tahu, tapi ingin membuktikan dulu. Ternyata dari percontohan yang diberikan itu, manfaatnya banyak jadi peternak segera ingin mencobanya," ujar Teguh Sutikno, Ketua Kelompok Ternak Margomulyo, Minggu (23/2/2025).
Namun mereka tidak segera bisa membuat, karena terhambat masalah biaya awal. Untuk membuat tangki digester berukuran 6 meter kubik, diperlukan Rp 8 juta hingga Rp 10 juta, jumlah yang besar bagi peternak. Untuk mengakalinya, kelompok ini kemudian mengadakan arisan sehingga setiap anggotanya bisa membuatnya secara bergilir dengan bergotong royong. Saat ini sudah ada 70 KK yang memiliki digester pengolahan biogas.
Baca juga: Dari Mana Asal Air yang Melimpah di Umbul-Umbul di Klaten?
Ternak sapi perah di Desa Mundu, Kecamatan Tulung, KlatenPada dasarnya proses pembuatan biogas relatif sederhana dan dapat dilakukan dengan teknologi yang terjangkau. Peternak hanya perlu mengumpulkan kotoran sapi dari kandang yang dicampur dengan air untuk membentuk slurry (campuran kotoran dan air). Peternak biasanya cukup menyemprotkan air dan mendorong kotoran masuk ke digester yang memang dibuat di ujung kandang
Dalam digester yang merupakan tangki kedap udara, proses fermentasi anaerobik terjadi. Bakteri mengurai bahan organik dalam kotoran sapi dan menghasilkan biogas yang disalurkan melalui pipa ke kompor biogas. Di Desa Mundu, gas digunakan untuk memasak, atau menyalakan lampu gas atau petromax.
Sedangkan limbah padat yang dihasilkan dari proses fermentasi dapat digunakan sebagai pupuk organik yang kaya nutrisi untuk tanaman.
"Dulu sebelum pakai biogas, kotoran sapi yang akan dijadikan pupuk harus lewat proses fermentasi sebulan. Sekarang ini dengan biogas, ampas yang keluar dari digester, baik cair atau padat bisa langsung dipakai untuk pupuk," kata Teguh.
Menurut Teguh, dengan menggunakan biogas, masyarakat tidak perlu lagi membeli gas elpiji atau minyak tanah untuk memasak. Hal ini membantu mengurangi pengeluaran rumah tangga, terutama bagi keluarga peternak sapi. "Jadi kami tidak pernah memikirkan harga gas, semuanya sudah gratis di sini," katanya.
Baca juga: Umbul Sigedhang-Kapilaler dan Mitos yang Harus Diketahui Faktanya
Selain itu kondisi kandang sapi dan lingkungan juga menjadi lebih bersih, karena kotoran langsung dimasukkan digester, tidak dibuang ke tanah atau sungai. Kandang yang bersih ini mempengaruhi produksi susu sapi, menjadi lebih banyak.
Di luar itu, tanpa disadari, penggunaan biogas juga mengurangi emisi gas rumah kaca karena metana tidak langsung terlepas ke atmosfer.
Lalu bila ingin menggunakan biogas, kita tidak harus memiliki sapi dalam jumlah banyak. Tiga ekor sapi saja cukup untuk memenuhi kebutuhan gas satu rumah berisilima orang. Dan tidak harus sapi, biogas juga bisa menggunakan limbah ternak lain.
Api biru dari kompor biogas di Desa Mundu, Kecamatan Tulung, KlatenTapi apakah biogas memiliki aroma yang tidak sedap karena berasal dari limbah kotoran?
Untuk membuktikan hal itu, Teguh mengajak kami ke dapurnya. Di sana ada kompor yang tersambung ke pipa biogas. Setelah keran pipa dibuka, ia menyalakan kompor. Api berwarna biru pun menyala, dan tidak ada aroma yang tercium.
"Sebenarnya ini serupa dengan elpiji. Saat api menyala, tidak ada bau yang tercium. Tapi bila tidak dinyalakan dan gas terbuka, tetap ada bau yang tercium. Bedanya, bila elpiji berbau seperti belerang, maka aroma biogas memang lebih mirip bau kandang," ujar Teguh tertawa.
Baca juga: Menjaga Air di Lereng Merapi lewat Kopi dengan Aroma Mawar
Dalam segala situasi, KOMPAS.com berkomitmen memberikan fakta jernih dari lapangan. Ikuti terus update topik ini dan notifikasi penting di Aplikasi KOMPAS.com. Download sekarang