KOMPAS.com - Jika kamu pernah berdiri di depan kandang penguin di akuarium—atau lebih hebat lagi, menyaksikan mereka langsung di Antartika, Selandia Baru, atau Afrika bagian selatan—ada satu kesan yang pasti tak terlupakan: baunya yang menyengat.
Kotoran mereka, atau guano, bukan hanya melimpah tapi juga sangat bau. Namun, siapa sangka, kotoran yang tampak menjijikkan ini bisa menjadi sekutu tak terduga dalam menghadapi krisis iklim global.
Dalam sebuah studi yang dipublikasikan pada 22 Mei 2024 di Nature Communications Earth & Environment, para ilmuwan mengungkap bahwa gas amonia dari kotoran penguin dapat membantu membentuk awan yang mendinginkan suhu permukaan bumi. Penemuan ini membuka wawasan baru tentang bagaimana spesies ikonik dari Antartika ini berkontribusi secara tidak langsung dalam meredam dampak perubahan iklim.
Baca juga: Para Ilmuwan Cari Tahu Penyebab Burung Suka Makan Kotoran
Antartika adalah salah satu ekosistem paling murni di Bumi, tetapi kini menghadapi ancaman besar akibat perubahan iklim yang disebabkan manusia. Pemanasan global telah mengurangi es laut—sumber kehidupan penting bagi penguin, burung laut, anjing laut, hingga paus. Di tengah ancaman ini, penguin ternyata memainkan peran penting sebagai pemancar amonia utama di wilayah tersebut.
Amonia adalah gas atmosfer yang mampu meningkatkan pembentukan awan. Gas ini bereaksi dengan senyawa sulfur di udara dan membentuk partikel aerosol, yang memberikan permukaan bagi uap air untuk mengembun.
Seperti dijelaskan oleh Matthew Boyer, ilmuwan atmosfer dari Universitas Helsinki dan salah satu penulis studi, “Partikel aerosol penting bagi pembentukan awan; air tidak akan mengembun menjadi tetesan awan tanpa keberadaan partikel-partikel ini.”
Lebih banyak partikel aerosol berarti awan yang lebih banyak dan lebih reflektif terhadap sinar matahari. Hal ini dapat membantu menurunkan suhu permukaan dan memengaruhi iklim—bukan hanya di Antartika, tapi juga secara global.
Baca juga: Kuda Nil Semprotkan Kotoran saat Dengar Suara Asing Kuda Nil Lain
Dalam studi terbaru ini, Boyer dan timnya mengukur konsentrasi amonia di udara di dekat Pangkalan Marambio, Antartika, dari 10 Januari hingga 20 Maret 2023. Ketika angin bertiup dari arah koloni penguin Adélie (Pygoscelis adeliae) yang berjumlah sekitar 60.000 individu, sekitar delapan kilometer jauhnya, konsentrasi amonia melonjak drastis hingga 13,5 bagian per miliar—lebih dari 1.000 kali lipat dari nilai dasar alami Antartika yang hanya sekitar 10,5 bagian per triliun.
Tak hanya itu, peningkatan amonia ini juga meningkatkan jumlah partikel aerosol dalam awan hingga 30 kali lipat dibandingkan kondisi normal. Menariknya, bahkan setelah para penguin bermigrasi pada akhir Februari, kotoran yang mereka tinggalkan masih terus mengemisikan amonia—lebih dari 100 kali lipat dari nilai dasar.
“Hal yang paling mengejutkan bagi saya adalah kekuatan emisi amonia dari guano penguin yang tetap tinggi selama sebulan setelah penguin meninggalkan koloni mereka,” ujar Boyer. “Mereka pergi untuk migrasi tahunan, tapi guano yang tersisa di tanah terus melepaskan gas amonia.”
Baca juga: 12 Fakta Menarik Penguin, Burung Asal Kutub yang Setia
Untuk mengonfirmasi apakah peningkatan amonia ini memang memengaruhi pembentukan awan, tim peneliti juga mencatat data atmosfer lainnya. Dalam satu hari pengamatan, ketika angin bertiup dari arah koloni, jumlah dan ukuran partikel aerosol meningkat tajam. Sekitar tiga jam setelah arah angin berubah, kabut pun muncul—kemungkinan besar terbentuk akibat konsentrasi aerosol tinggi yang dihasilkan oleh amonia dari kotoran penguin.
Temuan ini menunjukkan bahwa kotoran penguin tidak hanya menjadi petunjuk visual dalam menemukan koloni mereka melalui noda guano di es putih, tetapi juga memainkan peran tersembunyi dalam dinamika atmosfer Antartika.
Baca juga: Temuan Koloni Baru Penguin Kaisar, Jejaknya Terlihat dari Luar Angkasa
Meskipun interaksi antara penguin, amonia, dan iklim Antartika masih belum sepenuhnya dipahami, studi ini memberi petunjuk penting bahwa hewan dan ekosistemnya dapat berpengaruh besar terhadap iklim bumi.
“Pengukuran kami menunjukkan bahwa perubahan lingkungan dan ekosistem akan berdampak pula pada atmosfer dan iklim kawasan,” kata Boyer. “Ini penting, karena perubahan iklim dan ekosistem di Antartika bisa memiliki konsekuensi global.”
Di tengah gencarnya upaya mengurangi emisi dan menghambat laju perubahan iklim, mungkin sudah saatnya kita juga memperhatikan solusi tak terduga dari alam—termasuk dari kotoran burung laut yang menyengat, namun menyimpan potensi besar.
Baca juga: Penguin Kaisar Terancam Punah dalam Waktu Dekat
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.