KOMPAS.com - Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump mengumumkan sejumlah poin penting dalam kesepakatan tarif impor dengan Indonesia, salah satunya mengenai isu pemindahan data pribadi.
Hal tersebut tercantum dalam bagian yang membahas penghapusan hambatan terhadap perdagangan digital.
Dalam kesepakatan itu, AS dan Indonesia sepakat untuk menuntaskan komitmen di bidang perdagangan digital, jasa, dan investasi.
"Salah satu komitmen yang diambil Indonesia adalah memberikan kepastian hukum mengenai kemampuan untuk memindahkan data pribadi dari wilayah Indonesia ke AS," dikutip dari pernyataan resmi yang dirilis oleh Gedung Putih, Rabu (23/7/2025).
Isu transfer data pribadi ke AS tersebut memicu polemik di beberapa kalangan masyarakat Indonesia lantaran dinilai berpotensi melanggar privasi.
Lalu, apa alasan pemerintah Indonesia menyetujui kesepakatan transfer data tersebut?
Baca juga: Lengkap, 9 Poin Kesepakatan Tarif Dagang AS dan Indonesia
Kepala Kantor Komunikasi Kepresidenan, Hasan Nasbi mengatakan, kesepakatan transfer data antara Indonesia dan AS yang merupakan bagian dari kesepakatan tarif impor, hanya untuk kepentingan pertukaran barang dan jasa tertentu.
Komitmen ini menunjukkan bahwa Indonesia bersedia memberikan kepastian hukum mengenai alur data pribadi lintas negara, sebagai bagian dari kerja sama dagang antara kedua negara.
"Tujuan ini adalah semua komersial bukan untuk data kita dikelola oleh orang lain, dan bukan pula kita kelola data orang lain. Kira-kira seperti itu," kata Hasan, dikutip dari Antara, Kamis (24/7/2025).
"Itu untuk pertukaran barang jasa tertentu yang nanti bisa jadi bercabang dua, dia bisa jadi bahan bermanfaat tetapi juga bisa jadi barang yang berbahaya seperti bom. Itu butuh keterbukaan data, siapa pembeli siapa penjual," tambahnya.
Baca juga: Transfer Data Pribadi Seperti Apa yang Disepakati Indonesia dan AS?
Hasan menjelaskan, pertukaran data untuk barang dan jasa tersebut merupakan bagian dari manajemen strategi.
Ia memberikan contoh jenis barang tertentu seperti produk kimia gliserol sawit, yang dapat dimanfaatkan sebagai bahan baku pupuk, namun juga berpotensi digunakan untuk membuat bom.
Menurutnya, perdagangan barang semacam ini memerlukan transparansi data guna mencegah penyalahgunaan yang dapat membahayakan.
Hasan menegaskan, barang dengan potensi ganda, baik memberi manfaat maupun risiko, harus disertai dengan keterbukaan informasi mengenai pihak penjual dan pembelinya.
Ia pun membantah kesepakatan pemindahan data antara Indonesia dan AS mencakup data pribadi. Hal itu karena Indonesia memiliki Undang-Undang Perlindungan Data Pribadi.