BOGOR, KOMPAS.com - Penyelesaian cepat polemik mengenai empat pulau milik Aceh yang sempat masuk ke wilayah Sumatera Utara (Sumut) mendapatkan sorotan dari berbagai pihak.
Pakar Geografi Lingkungan IPB University, Rina Mardiana, menilai bahwa kasus ini seharusnya menjadi momentum untuk memperbaiki tata kelola wilayah, terutama untuk pulau-pulau kecil lain yang selama ini terabaikan.
Sebelumnya, Keputusan Menteri Dalam Negeri (Kepmendagri) Nomor 300.2.2-2138 Tahun 2025 memasukkan empat pulau milik Aceh, yaitu Pulau Panjang, Mangkir Besar, Mangkir Kecil, dan Lipan ke dalam wilayah Tapanuli Tengah, Sumut.
Baca juga: Soal Sengketa 13 Pulau, Pemkab Tulungagung Tunggu Keputusan Kemendagri
Namun, keputusan ini segera dibatalkan setelah mendapatkan protes dari masyarakat.
Rina menekankan bahwa polemik ini menunjukkan lemahnya tata kelola spasial dan administrasi wilayah di Indonesia.
Ia menegaskan bahwa Kemendagri seharusnya tidak hanya mengandalkan koordinat geografis dalam menentukan batas wilayah, tetapi juga harus mempertimbangkan bukti sejarah.
"Kemendagri seharusnya mencari dokumen-dokumen sejarah terlebih dahulu. Ini sangat ahistoris dan politis sekali," ungkapnya melalui keterangan tertulis kepada Kompas.com di Bogor, Jumat (20/6/2025).
Rina menyebutkan sejumlah dokumen sejarah yang mendukung posisi Aceh, seperti peta topografi TNI tahun 1978, kesepakatan Pemda Sumut dan Aceh tahun 1988, serta SK Mendagri No. 111/1992 yang menetapkan batas Aceh-Sumut berdasarkan peta lama.
Penegasan batas Aceh-Sumut berlandaskan peta 1978 menunjukkan bahwa keempat pulau tersebut berada di wilayah Aceh, namun semua itu diabaikan dalam keputusan awal Kemendagri.
Selain aspek administratif, Rina juga menggarisbawahi potensi sumber daya alam di sekitar wilayah sengketa, khususnya cadangan gas di Cekungan Andaman yang berdekatan dengan Blok Singkil.
"Wilayah ini berada dalam formasi geologi yang sama dengan sumber migas Andaman. Artinya, potensi ekonominya besar," ujarnya.
Meski pemerintah cepat menyelesaikan konflik di Aceh, Rina mempertanyakan mengapa konflik serupa di wilayah lain justru dibiarkan berlarut-larut.
Ia mencontohkan situasi di Rempang-Batam yang masih diselimuti kebingungan akibat dualisme kepemimpinan antara Wali Kota Batam dan Badan Pengusahaan (BP) Batam.
"Ketika masyarakat bertanya, ‘Bapak sebagai wali kota atau wakil perusahaan?’, itu karena peran pemimpin daerah yang tumpang tindih. Ini membingungkan rakyat," tuturnya.
Ketidakpastian serupa juga terjadi di Papua, di mana masyarakat merasakan ketimpangan dalam pembagian sumber daya ekonomi, sementara potensi intervensi pihak asing dalam gerakan separatis menjadi ancaman tersendiri.