KOMPAS.com - Kasus toko yang diduga menjual roti gluten free (bebas gluten) palsu membuat orangtua khawatir apakah anak mereka yang sensitif terhadap gluten pernah mengonsumsinya, khususnya pada anak dengan gangguan spektrum autisme atau autism spectrum disorder (ASD).
Sebab, anak dengan ASD disebut lebih sensitif terhadap gluten. Mengapa begitu?
Baca juga:
Ahli gizi menjelaskan kenapa anak dengan autisme (ASD) lebih sensitif terhadap gluten. Ketahui apakah diet bebas gluten aman dan perlu dilakukan.“Studi menunjukkan prevalensi gangguan saluran cerna pada anak dengan ASD cukup tinggi, 23-70 persen, yang mana tingkat keparahannya berkorelasi dengan keparahan gejala ASD-nya,” jelas Ariek Ratnawati, S.Gz, ahli gizi di RSCM Kiara, Jakarta, saat dihubungi, Senin (13/10/2025).
Ia melanjutkan, belum ada mekanisme yang jelas terkait hal tersebut, tapi perubahan dua arah pada mikrobiota otak dan usus diketahui menjadi penyebab gangguan yang berhubungan dengan otak dan usus.
Sinyal dari otak memengaruhi sinyal mikrobiota dan motilitas usus. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) daring, mikrobiota adalah sekumpulan mikroorganisme yang hidup pada suatu ekosistem, misalnya usus.
Sementara itu, motilitas usus adalah gerakan otot-otot di dalam saluran pencernaan yang membantu memproses dan mendorong makanan dari mulut sampai ke anus.
“Mikrobiota sendiri memengaruhi permeabilitas usus, imun mukosa, motilitas usus, dan sensitivitas usus. Selain itu, mikrobiota berperan atas perilaku dan proses otak, dan perilaku emosional,” jelas Ariek.
Pada anak dengan ASD, sering kali terdapat ketidakseimbangan mikrobiota usus yang berperan penting pada perkembangan saluran cerna.
“Kondisi ini dapat menyebabkan saluran cerna pada anak dengan ASD sehingga lebih sensitif terhadap protein, bisa berupa kasein atau gluten,” lanjut dia.
Baca juga:
Ahli gizi menjelaskan kenapa anak dengan autisme (ASD) lebih sensitif terhadap gluten. Ketahui apakah diet bebas gluten aman dan perlu dilakukan.Kondisi anak dengan ASD yang lebih sensitif terhadap gluten memunculkan pertanyaan lain yaitu apakah mereka harus diet bebas gluten atau tidak.
Ariek mengatakan, pada kondisi tertentu, diet bebas gluten diprediksi dapat mengurangi gejala umum, seperti berkurangnya sensitivitas nyeri dan perubahan perilaku sosial. Meskipun belum ada bukti yang memadai terkait hal tersebut.
“Beberapa studi menunjukkan adanya perbaikan perilaku pada beberapa anak, tetapi di beberapa studi lain menunjukkan tidak ada perubahan signifikan terhadap perilaku anak,” tutur dia.
Dengan demikian, lanjut Ariek, sebagian merekomendasikan diet eliminasi apabila terdapat intoleransi atau sensitivitas terhadap makanan yang mengandung gluten.
Baca juga:
Berbicara tentang diet, termasuk diet bebas gluten, memunculkan kekhawatiran baru terkait kekurangan nutrisi lantaran mereka harus mengeliminasi makanan yang mengandung gluten.
Namun, sejauh mana diet bebas gluten dapat membantu meningkatkan kualitas hidup anak dengan ASD?
“Meskipun diet bebas gluten dikatakan tidak berbahaya, tetapi tidak menutup kemungkinan masalah gizi yang timbul pada anak,” ucap Ariek.
Beberapa masalah di antaranya adalah kekurangan energi dan zat gizi, gangguan fungsi saluran cerna, alergi makanan dan intoleransi makanan, kelebihan berat badan dan obesitas, kesulitan makan, dan picky eater.
Sebab, rata-rata anak lebih menyukai makanan bertepung dan berlemak, karbohidrat sederhana, serta makanan ringan dan makanan olahan.
“Pola makan seimbang tetap perlu diperhatikan untuk anak dengan pemiihan makanan yang tepat,” kata Ariek.
Untuk mengetahui lebih lanjut perihal konsumsi gluten pada anak dengan ASD, orangtua sangat dianjurkan untuk berkonsultasi dengan dokter anak di fasilitas kesehatan terdekat.
Dalam segala situasi, KOMPAS.com berkomitmen memberikan fakta jernih dari lapangan. Ikuti terus update topik ini dan notifikasi penting di Aplikasi KOMPAS.com. Download sekarang