KOMPAS.com – Kabar perceraian Raisa dan Hamish Daud mengejutkan publik, padahal keduanya kerap tampil mesra dan harmonis di berbagai kesempatan, termasuk di media sosial.
Adapun Raisa diketahui mengajukan gugatan cerai melalui sistem e-court di Pengadilan Agama Jakarta Selatan pada 22 Oktober 2025.
Baca juga:
Belajar dari hubungan keduanya, Psikolog klinis Winona Lalita R., M.Psi., Psikolog, mengatakan, publik perlu belajar dari kasus ini untuk tidak menjadikan media sosial sebagai tolok ukur hubungan yang ideal.
“Kita bisa mengambil pembelajaran bahwa citra diri ataupun citra hubungan yang dilihat melalui sosial media bukanlah tolak ukur dari relasi yang ideal dan sehat,” jelas Winona saat diwawancarai Kompas.com, Senin (27/10/2025).
Menurut Winona, setiap hubungan memiliki dinamika dan nilai yang berbeda-beda. Apa yang terlihat baik-baik saja di depan umum belum tentu menggambarkan kondisi sebenarnya di dalam hubungan itu sendiri.
“Terlebih, bagaimana setiap orang menilai dan menjalani sebuah hubungan itu berbeda-beda. Yang terlihat baik-baik saja, kita tidak tahu di dalamnya atau realitanya seperti apa,” ujarnya.
Ia menegaskan, media sosial hanyalah potongan kecil dari kehidupan seseorang, yang sering kali menampilkan sisi terbaik dan menyembunyikan bagian sulit.
Maka dari itu, masyarakat sebaiknya tidak langsung menganggap pasangan yang tampak bahagia di dunia maya pasti tidak memiliki masalah.
Baca juga:
Kasus perceraian Raisa dan Hamish Daud jadi pengingat bahwa kebahagiaan di media sosial tak selalu mencerminkan kenyataan. Ini penjelasan psikolog.Fenomena media sosial saat ini bahkan melahirkan istilah baru yang disebut “standar TikTok” yakni kecenderungan warganet untuk menilai hubungan orang lain berdasarkan unggahan di platform digital.
“Kita juga perlu belajar bahwa media sosial itu bisa jadi salah satu hal yang bikin kita punya ekspektasi terhadap relasi yang kita akan bangun. Makanya sekarang ada istilah standar TikTok,” kata Winona.
Ia menjelaskan, istilah itu hadir karena banyak orang membandingkan kehidupan pribadi mereka dengan pasangan yang terlihat sempurna di dunia maya, padahal tidak tahu kondisi sesungguhnya di balik layar.
“Istilah tersebut muncul karena para netizen dengan mudahnya menilai hubungan seseorang harmonis dan dijadikan tolak ukur, padahal tidak tahu dalamnya seperti apa,” lanjutnya.
Winona mengingatkan agar masyarakat tidak menelan mentah-mentah standar sosial yang muncul di media sosial, sebab setiap pasangan memiliki nilai dan kebutuhan yang unik.
“Padahal kalau digali lagi, nilai yang dipahami dan dipegang dalam relasi setiap orang itu berbeda. Jadi tidak bisa disamaratakan standar dalam menjalani hubungan seperti di media sosial,” jelasnya.