KOMPAS.com - Keinginan untuk mulai menulis jurnal sering kali muncul setelah tahu manfaatnya untuk kesehatan mental, atau sekadar ingin menuangkan emosinya ke dalam tulisan.
Namun, dalam praktiknya, tidak sedikit yang merasa bingung harus mulai dari mana dan bagaimana bisa tetap konsisten tanpa menjadikannya sebagai beban baru.
Menurut psikolog klinis, Sarah Dian A, S.Psi., M.Psi., hal itu wajar terjadi karena journaling merupakan kebiasaan baru yang membutuhkan waktu untuk menyesuaikan diri. Tidak semua orang bisa langsung terbiasa menulis setiap hari atau menemukan cara yang paling nyaman untuk melakukannya.
“Karena biasanya mau mulai habit baru itu kita yang kayak ‘aduh gimana ya, aduh mager.’ Misalnya hari ini konsisten, besok enggak, itu tak apa apa,” jelasnya dalam kegiatan Journaling Class: Every Side Has Its Light yang menjadi bagian dari acara Light+ by Wardah - Skin Comfort First, Heavy on Results, di Jakarta Selatan, Jumat (31/10/2025).
Baca juga: Jangan Pendam Emosi, Yuk Coba Journaling
Untuk tahap awal menulis jurnal, seseorang bisa mencoba menulis ketika sedang memiliki waktu luang, misalnya pada akhir pekan.
“Boleh dimulai dari misalnya seminggu sekali dulu deh, misalnya weekend,” tutur Sarah.
Menulis seminggu sekali dapat memberi ruang bagi diri untuk beradaptasi tanpa tekanan. Setelah mulai terbiasa, frekuensinya bisa meningkat secara bertahap menjadi tiga hari sekali, dua hari sekali, hingga akhirnya menjadi bagian dari rutinitas.
“Nanti baru setelah itu kita bisa mulai berkala gitu. Misalnya, tiga hari sekali, dua hari sekali,” tambah Sarah.
Baca juga: Cara Journaling Saat Keinginan Bunuh Diri Muncul Menurut Psikolog
Ilustrasi menulis puisi.Ada beberapa orang yang menganggap bahwa kegiatan journaling identik dengan momen tenang di pagi atau malam hari. Lebih dari itu, waktu menulis jurnal sepenuhnya bisa disesuaikan dengan kondisi dan kenyamanan masing-masing. Tidak ada waktu yang paling benar atau paling ideal.
“Misalnya emosinya siang, nanti jornaling-nya bisa malam, engga apa-apa. Engga ada waktu tertentu,” ucap Sarah.
“Yang penting journaling dilakukan ketika kita merasa butuh ruang untuk mengurai perasaan, bukan karena paksaan atau rutinitas yang kaku,” tambahnya.
Baca juga: Alat Tulis Penuh Warna Bikin Lebih Semangat Menulis
Agar journaling tidak terasa membosankan, buat prosesnya menjadi kegiatan yang menyenangkan dan personal. Sarah menyarankan untuk mencari hal-hal kecil yang bisa memicu semangat untuk menulis.
“Cari hal yang menggugah apa, misalnya pensil berwarna, pena berwarna, atau kaya stiker lucu-lucuan gitu,” ungkapnya.
Menggunakan alat tulis atau buku jurnal yang menarik dapat memberi pengalaman emosional yang positif. Dengan begitu, kegiatan menulis terasa lebih santai dan memunculkan perasaan nyaman setiap kali membuka halaman jurnal.
Baca juga: Manfaat Journaling untuk Gen Z Menurut Psikolog, Tak Cuma Redakan Stres
Salah satu tantangan ketika ingin menulis jurnal adalah kebingungan saat hendak menuangkan emosinya ke dalam tulisan. Untuk mengatasinya, Sarah merekomendasikan untuk membuat tema kecil atau daftar panduan tulisan sederhana.