JAKARTA, KOMPAS.com – Cuti bersama pada 18 Agustus 2025 yang ditetapkan pemerintah untuk memeriahkan HUT ke-80 RI rupanya tak selalu disambut gembira.
"Jangankan berharap 18 Agustus libur, tanggal 17 Agustus saja disuruh masuk, " kalimat itu keluar dengan nada getir dari Tama (37), seorang karyawan swasta di Jakarta.
Tidak ada eufotia, apalagi rencana liburan. Pasalnya, ia tetap harus bekerja pada Hari Kemerdekaan yang jatuh pada hari Minggu itu.
“Di saat orang lain menikmati libur panjang, kami cuma bisa ngiler. Kami masih harus banting tulang biar tetap bisa makan,” kata Tama kepada Kompas.com, Jumat (8/8/2025).
Baca juga: Cuti Bersama 18 Agustus Dinilai Lebih Untungkan Pegawai Negeri Ketimbang Swasta
Tama menilai, hari libur nasional kadang hanya benar-benar menjadi milik segelintir orang, yakni bos besar dan para pegawai negeri.
“Kalau pekerja kelas bawah kayak gue tetap harus masuk buat memastikan operasional perusahaan tetap jalan di tengah-tengah orang yang bisa menikmati momen liburan bersama orang-orang terkasih,” ucap dia.
Pemerintah menetapkan cuti bersama 18 Agustus 2025 melalui SKB Tiga Menteri yang diteken Menteri Agama Nasaruddin Umar, Menteri Ketenagakerjaan Yassierli, dan Menteri PAN-RB Rini Widyantini pada Kamis (7/8/2025).
Namun, berdasarkan Surat Edaran Menteri Ketenagakerjaan Nomor 2/MEN/XII/2016, cuti bersama bersifat fakultatif untuk sektor swasta. Keputusan meliburkan atau tidak sepenuhnya bergantung pada kebijakan perusahaan.
Bagi Tama, ini sudah jadi rutinitas yang tak perlu dipertanyakan.
“Enggak ada yang bisa dilakukan selain memaksa ikhlas melihat bos berleha-leha dan berkumpul dengan keluarga di hari libur,” katanya.
Ia menggambarkan dirinya dan rekan-rekan sebagai “roda yang tetap harus berputar” meski rakyat lain tengah berpesta merayakan kemerdekaan.
Baca juga: Ogah Libur pada 18 Agustus, Pekerja Swasta Tak Mau Rugi Cuti Tahunan Terpotong
Karena bagi sebagian besar perusahaan, kata Tama, waktu adalah uang. Meliburkan karyawan pada 18 Agustus justru dianggap membuang kesempatan meraup cuan.
Raini (27) punya cerita serupa. Dua tahun terakhir, ia selalu bekerja saat 17 Agustus, dan tahun ini kemungkinan tak ada bedanya.
“Maklumlah. Kerja jadi babu korporat yang tanggal merah juga enggak ada artinya,” ujarnya dengan getir.
Bagi Raini, cuti bersama hanyalah angan-angan bagi pekerja swasta. Perusahaannya seolah menjadi “negara kecil” dengan aturan sendiri, tak terpengaruh keputusan pemerintah pusat.