JAKARTA, KOMPAS.com - Badan Pangan Nasional (Bapanas) merespon fenomena yang membingungkan publik: di tengah klaim stok beras yang cukup, bahkan surplus, harga di pasar justru terus melambung tinggi.
Deputi Bidang Ketersediaan dan Stabilitas Pangan Bapanas, I Gusti Ketut Astawa, mengatakan akar masalahnya terletak pada pola perdagangan gabah dan perilaku pasar.
Ia mencatat harga Gabah Kering Panen (GKP) di tingkat petani sangat bervariasi, tergantung wilayah dan kondisi panen. Ada petani yang menjual GKP di harga Rp 6.000 per kilogram (kg), sebagian di Rp angka 6.500, bahkan hingga Rp 7.000.
“(Anomali produksi beras dan harga, ini akar masalah apa?) Itu yang saya bilang tadi, teman-teman ini kan sudah ada variatif nih mendapatkan GKP. ada yang mendapatkan, sebelum dipaksa Rp 6.500 ada yang mendapatkan Rp 6.000, kemudian ada yang mendapatkan Rp 6.500, ada yang mendapatkan Rp 6.700, ada yang Rp 7.000,” ujar Ketut saat ditemui di gedung Ombudsman RI, Jakarta Selatan, Selasa (26/8/2025).
Fenomena tersebut yang menjelaskan mengapa harga beras di pasar tetap tinggi, meskipun pemerintah berkali-kali menyatakan stok cukup dan aman.
“Nah pola perdagangan itu kan isu paling pertama, sangat berpengaruh,” paparnya.
Para pedagang, lanjut Ketut, cenderung mengikuti harga tertinggi di pasar ketimbang menjual dengan margin tipis. Situasi itu memperkuat tren kenaikan harga, sehingga masyarakat tetap sulit mengakses beras dengan harga terjangkau.
“Katakanlah saya mendapatkan GKP Rp 7.000, kemudian otomatis apakah saya jual dengan harga yang rendah? kan gak mungkin, isunya akan menyebar, walaupun teman-teman mendapatkan Rp 6.800, saya akan ikut yang Rp 7.000 itulah trendnya,” bebernya.
Untuk mengatasi kondisi tersebut, pemerintah mengandalkan intervensi melalui program Stabilisasi Pasokan dan Harga Pangan (SPHP).
Namun, penjelasan ini masih menyisakan kritik. Ombudsman RI sebelumnya menyoroti adanya paradoks: data produksi dan ketersediaan beras menunjukkan surplus, tetapi fakta di lapangan justru harga terus melambung.
Anggota Ombudsman RI, Yeka Hendra Fatika, menuturkan hasil inspeksi mendadak (sidak) yang dilakukan di Karawang beberapa waktu lalu. Ia menemukan harga gabah di tingkat petani sudah berada di level tinggi, yaitu antara Rp 7.400 - Rp 8.400 per kg.
Saat berbincang dengan petani, Yeka mendapati kenyataan bahwa harga gabah yang tinggi belum tentu mensejahterakan. Banyak petani justru mengeluh karena pendapatannya tergerus akibat gagal panen berulang kali, biaya produksi yang tinggi, serta hutang yang menumpuk.
“Jadi intinya ternyata kalau di petan itu harga itu bukan hanya cerminan, jadi harga yang bagus belum tentu pendapatan mereka itu bagus, belum tentu sejahtera, ada kegagalan, ada yang ngatain kami tiga musim berturut-turut mengalami kegagalan, ada yang lima musim kegagalan, tapi ada juga yang tidak gagal juga gitu ya. jadi beragam di lapangan itu gitu ya,” ungkap Yeka.
Temuan lain yang mengkhawatirkan adalah kondisi di penggilingan padi. Dari 23 penggilingan di Kecamatan Tempuran, Karawang, sebanyak 10 sudah berhenti beroperasi, sementara 13 lainnya masih berjalan tapi dalam kondisi stok yang minim.
Padahal, dalam keadaan normal, pelaku usaha penggilingan biasanya menyimpan stok sesuai kebutuhan operasional. Ada yang memilih menyimpan untuk kebutuhan sebulan, ada juga yang aman dengan cadangan tiga bulan agar tidak terganggu.
Misalnya, jika kapasitas penjualan 20 ton per hari, maka untuk tiga bulan dibutuhkan stok 1.200 ton. Namun kini, stok rata-rata mereka hanya sepersekian dari kebutuhan ideal tersebut.
“Tapi yang terjadi kemarin waktu saya sidak di sana itu rata-rata mereka stoknya tinggal 5 sampai 10 persen dari normal,” lanjutnya.
Kondisi ini memperlihatkan adanya anomali serius dalam tata niaga beras. Di satu sisi, harga gabah di petani tinggi, namun penggilingan justru kekurangan bahan baku dan stok beras makin menipis.
Sementara itu, harga di pasar terus meroket, membuat masyarakat menjerit.
Ombudsman menegaskan bahwa persoalan beras tidak bisa dilihat hanya dari sisi harga, karena realitas di lapangan menunjukkan persoalan struktural: mulai dari kegagalan panen, tekanan biaya produksi, keterbatasan stok di penggilingan, hingga distribusi yang timpang.
https://money.kompas.com/read/2025/08/26/163000626/anomali-stok-beras-surplus-harga-beras-tetap-mahal-begini-penjelasan-bapanas-