KOMPAS.com - Indonesia berkomitmen mengurangi emisi karbon melalui dokumen Enhanced Nationally Determined Contribution (ENDC).
Komitmen ENDC Indonesia terbagi dalam lima sektor, yaitu limbah, proses industri dan penggunaan produk, pertanian, kehutanan dan penggunaan bahan lainnya, serta sektor energi yang juga mencakup sektor transportasi.
Kebijakan-kebijakan yang dihasilkan dari komitmen tersebut berhasil menurunkan emisi karbon dari tahun ke tahun.
Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto mengatakan, Indonesia merencanakan berbagai mitigasi, termasuk perubahan research octane number (RON) ke RON yang lebih tinggi.
“Alhamdulillah, RON 88 sudah tidak ada dan kami juga mendorong program berbasis baterai listrik,” ungkapnya dalam Kumparan Green Initiative Conference 2024 di Jakarta, Selasa (24/9/2024).
Dia mengatakan, Indonesia menjadi satu-satunya negara yang mendorong mandatory diesel dan sudah B35 sudah dilaksanakan serta akan dinaikkan menjadi B40 pada 2025.
“Biodiesel ini memanfaatkan 54,52 juta kiloliter dan mengurangi impor solar. Devisa yang diselamatkan sebesar Rp 404,32 triliun,” ungkapnya melansir ekon.go.id.
Baca juga: Airlangga Sebut Insentif Dorong Investasi EV di Indonesia
Sejak 2020, Indonesia mencatatkan penurunan emisi karbon yang signifikan, yakni sebesar 945 juta ton karbondioksida (CO2) ekuivalen pada 2020, 890 juta ton CO2 ekuivalen pada 2021, dan 884 juta ton CO2 ekuivalen pada 2022.
Capaian penurunan emisi karbon tersebut perlu dipertahankan dan terus ditingkatkan mengingat tantangan dan dinamika global saat ini dan ke depan akan lebih dinamis dan fluktuatif.
Lebih lanjut, Menko Airlangga menjelaskan tentang Carbon Capture, Utilization, and Storage (CCUS) yang terdapat di beberapa wilayah Indonesia, yakni di Arun, Teluk Bintuni, dan Bojonegoro.
Dia menyampaikan, CCUS tersebut ekuivalen dengan gudang di bawah tanah yang biasanya akibat ekstraksi dari gas dan minyak.
“Potensi warehouse atau gudang bawah tanah di Indonesia ini salah satu yang terbesar,” ungkapnya.
Menko Airlangga mengatakan, pasar CCUS sekarang mencapai sekitar 25 sampai 30 dollar per ton sehingga pemerintah perlu mendorong dari sisi regulasi.
Baca juga: Menko Airlangga Pastikan Program B40 Diterapkan 2025
“Berapa yang kita bisa serap dari market internasional dan berapa domestic market obligation-nya. Kalau kita bisa lakukan ini maka kita bisa tarik dari pembangkit listrik tenaga uap (PLTU),” katanya.
Dia menyebutkan, persoalan PLTU bukan tidak boleh dalam pengembangan pembangkitnya, tetapi asal bisa mencapai target Net Zero Emission (NZE).