BANDA ACEH, KOMPAS.com - Bermula dari kegelisahan melihat petani-petani cabai merugi karena harga cabai anjlok, pasangan suami istri, yakni Yuliana dan Murtala Hendra Syahputra, memulai bisnis sambal rawit hijau khas Aceh.
Yuliana, yang kala itu bekerja di salah satu lembaga survei inflasi yang bekerja sama dengan Bank Indonesia (BI), merasa kasihan mendengar keluhan seorang petani cabai rawit hijau dari dataran tinggi Gayo.
Petani tersebut mengeluhkan harga cabai yang selalu anjlok ketika memasuki masa panen, sehingga banyak petani yang merugi.
"Kalau kayak gini kita enggak mungkin tinggal diam. Jadi harus ada solusi yang kita berikan ke petani. Karena makin lama petani ini akan menjerit dan orang enggak akan pernah mau lagi nanam cabai kalau kondisinya seperti ini," cerita Yuliana.
Baca juga: Mentan Sebut 5 Perusahaan Mafia Pupuk Rugikan Petani Rp 3,2 Triliun
Akhirnya, setelah melalui proses riset dan mencoba beberapa formulasi, Yuliana dan suaminya sepakat untuk membuat produk sambal dengan bahan baku cabai rawit hijau yang dipasok dari petani-petani tersebut.
Dengan demikian, cabai yang ditanam petani dapat dibeli dengan harga yang sesuai nilai pasaran.
Tak hanya itu, keduanya juga memanfaatkan pengawet alami khas Aceh, yakni asam sunti, agar produk sambalnya bisa memiliki daya tahan lebih lama.
Dengan modal awal Rp 500.000, Yuliana dan Murtala mendirikan usaha sambal rawit hijau khas Aceh yang diberi merek Capli.
Capli diambil dari bahasa Aceh yang artinya cabai, tetapi bisa juga menjadi singkatan dari cabai pilihan.
"Awal modal itu cuma Rp 500.000 di tahun 2018. Hanya dengan blender rumah tangga yang masih kita pakai di rumah kita sendiri," kenangnya.
Suami Yuliana, Murtala, menambahkan, saat awal memulai usaha, keduanya hanya menjual sekitar 60 buah sambal selama satu bulan. Omzet harian mereka sekitara Rp 60.000
Mulanya, mereka memasarkan sambal Capli di swalayan dan kios dekat rumah mereka di Banda Aceh. Tak jarang juga mereka mengikuti pameran UMKM dan menjajakan produk ke ibu-ibu arisan.
"Karena kan dia cocok. Kalau ibu-ibu arisan itu kan suka makan yang berkuah-kuah, jadi kita jual langsung ke situ," ucapnya.
Namun, merintis usaha baru bukanlah hal yang mudah. Murtala mengaku dia dan istrinya sempat merugi hingga Rp 40 juta karena harus menarik produk sambalnya dari pasaran akibat kesalahan produksi.
Kala itu, mereka ingin menggunakan alat pembuat sambal baru yang didesain sendiri. Tentu, pembuatan alat baru tidak bisa sekali buat langsung berhasil; dibutuhkan beberapa kali percobaan hingga akhirnya sesuai standar produksi.