PADA tulisan sebelumnya, penulis mengulas secara singkat sejarah "game theory" dan menganalisis dinamika perang dagang antara Amerika Serikat dan China pada periode pertama kepemimpinan Donald Trump.
Secara garis besar, pelajaran penting dari periode tersebut adalah pada akhirnya, kedua negara memilih bernegosiasi guna menghindari kerugian ekonomi yang lebih besar.
Dapat dibayangkan, jika perang dagang terus berlanjut hingga tahun-tahun berikutnya, apalagi saat dunia mulai memasuki masa pandemi COVID-19, biayanya tentu akan semakin besar dan berdampak luas.
Baca artikel sebelumnya: Aplikasi Game Theory dalam Permainan Trump (Bagian I)
Memasuki periode kedua kepemimpinan Donald Trump, sebelum deklarasi Liberation Day, sebenarnya Trump telah lebih dulu mengeluarkan Executive Order nomor 14195.
Kebijakan ini menetapkan tarif sebesar 10 persen terhadap seluruh impor dari China, yang mulai berlaku pada 4 Februari 2025.
Dalam konteks game theory, langkah ini dapat dikategorikan sebagai first defection, yaitu aksi sepihak Amerika Serikat untuk menguji respons dari China dalam permainan strategi berulang (repeated game).
Sebagai balasan, pada 10 Februari 2025, China merespons dengan pemberlakuan tarif sebesar 15 persen terhadap batu bara dan gas alam cair dari Amerika Serikat.
Tak hanya itu, China juga memasukkan beberapa perusahaan asal Amerika Serikat ke dalam daftar entitas yang tidak dapat dipercaya, menandai dimulainya siklus aksi dan reaksi dalam putaran perang dagang terbaru antara kedua negara.
Pada ronde kedua tersebut, konsep tit-for-tat sudah berjalan secara otomatis.
Amerika Serikat tidak tinggal diam. Pada 4 Maret 2025, tarif impor terhadap produk asal China dinaikkan dari 10 persen menjadi 20 persen.
Keputusan ini menunjukkan bahwa Amerika Serikat semakin meningkatkan tekanan terhadap China dalam upaya mempertahankan posisi tawarnya.
Sebagai balasan, China memberlakukan tambahan tarif sebesar 15 persen terhadap berbagai produk peternakan dan pertanian asal Amerika Serikat. Selain itu, China juga memulai investigasi anti-penyelundupan terhadap produk serat optik dari AS.
Langkah-langkah ini menegaskan keseriusan China dalam merespons serangan dagang dari Amerika Serikat, baik melalui kebijakan tarif maupun instrumen non-tarif.
Ronde berikutnya adalah momen Liberation Day, ketika Amerika Serikat menetapkan tarif universal sebesar 10 persen terhadap seluruh produk impor dari berbagai negara.
Dalam konteks game theory, langkah ini merupakan bentuk strategi defeksi lanjutan, dengan memperluas cakupan kebijakan tarif secara drastis.
Strategi ini mengejutkan banyak pihak. Dampaknya terasa langsung di pasar keuangan: bursa saham di Amerika Serikat dan sejumlah negara lain mengalami penurunan tajam.
Hingga tulisan ini dibuat, Trump setuju untuk menunda pelaksanaan tarif selama 90 hari. Namun, Trump memberikan perkecualian untuk China dengan memberikan tarif 125 persen, lebih tinggi daripada tarif sebelumnya.
Baca juga: Trump Hidupkan Neoimperialisme