JAKARTA, KOMPAS.com – Investasi hulu minyak dan gas bumi (migas) Indonesia menunjukkan tren positif. Namun, soal kepastian hukum masih jadi pekerjaan rumah besar.
Satuan Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Migas (SKK Migas) melaporkan, realisasi investasi hulu migas pada semester I 2025 mencapai 7,19 miliar dollar AS atau sekitar Rp 118,63 triliun.
Angka ini naik 28,60 persen dibandingkan periode yang sama 2024 sebesar 5,59 miliar dollar AS atau Rp 92,23 triliun.
Peningkatan ini sejalan dengan tren global. Data menunjukkan, realisasi investasi hulu migas dunia naik dari 468 miliar dollar AS atau sekitar Rp 7.722 triliun pada 2020 menjadi 593 miliar dollar AS atau Rp 9.784,5 triliun pada 2024.
Salah satu faktor pendorongnya adalah kebijakan Presiden AS Donald Trump yang menarik diri dari Paris Agreement dan tetap memberi ruang besar bagi produksi energi fosil.
Baca juga: Trump Gaungkan Energi Fosil, Pertamina Mau Agresif Eksplorasi Migas
Empat elemen utama menjadi indikator penilaian, yakni activities & success, fiscal system, oil and gas risk, serta legal & contractual.
Indonesia mencatat kemajuan di tiga aspek pertama, tetapi stagnan pada aspek legal & contractual. Hal ini menunjukkan perlunya terobosan regulasi agar iklim investasi lebih kompetitif.
Perbaikan pada aspek fiscal system antara lain berupa fleksibilitas bagi kontraktor kontrak kerja sama (KKKS) dalam memilih sistem kontrak—baik PSC Cost Recovery, PSC Gross Split, maupun New Gross Split.
Pemerintah juga menawarkan split yang lebih baik serta membuka ruang negosiasi untuk besaran signature bonus.
Baca juga: Impor Migas Naik, Hulu Migas Lokal Kian Mendesak Diperkuat
Direktur Eksekutif ReforMiner Institute, Komaidi Notonegoro, menilai stagnasi pada aspek legal menjadi penyebab utama iklim investasi belum meningkat signifikan.
Ia menekankan pentingnya penyelesaian revisi Undang-Undang (UU) Migas yang saat ini sedang dibahas di DPR.
“Revisi UU Migas secara prinsip perlu mengatur dan memuat setidaknya tiga elemen fundamental yang diperlukan untuk meningkatkan efektivitas sistem kontrak kerja sama (PSC),” ujar Komaidi di Jakarta, Selasa (19/8/2025).
Tiga elemen itu mencakup penerapan prinsip assume and discharge dalam perpajakan, pemisahan urusan administrasi dan keuangan kontrak kerja sama dari keuangan negara, serta penerapan single door bureaucracy dalam perizinan.
Selain itu, menurut Komaidi, revisi UU Migas juga penting untuk menindaklanjuti sejumlah putusan Mahkamah Konstitusi, termasuk Putusan MK No. 002/PUU-I/2003, Putusan MK No. 20/PUU-V/2007, dan Putusan MK No. 36/PUU-X/2012.
“Revisi juga penting untuk mengakomodasi dinamika industri hulu migas yang memerlukan tambahan pengaturan, seperti mekanisme konsolidasi biaya untuk pengurangan pajak, manajemen emisi CO2 (CCS/CCUS), hingga pembentukan Petroleum Fund,” pungkas Komaidi.
Baca juga: Hanya Sekitar 2,5 Persen Eksplorasi Tambang di Indonesia Dianggap Berhasil
Di saat situasi tidak menentu, Kompas.com tetap berkomitmen memberikan fakta jernih dari lapangan. Ikuti terus update terkini dan notifikasi penting di Aplikasi Kompas.com. Download di sini