JAKARTA, KOMPAS.com - Center for Strategic and International Studies (CSIS) mengingatkan risiko terulangnya krisis ekonomi 1998 apabila pemerintah tidak segera menyelesaikan akar masalah ekonomi yang menyebabkan aksi demonstrasi meluas di berbagai daerah.
Peneliti Senior Departemen Ekonomi CSIS Deni Friawan mengatakan, gelombang protes pada Kamis hingga Minggu (28-31 Agustus) mencerminkan akumulasi keresahan publik akibat memburuknya ketimpangan ekonomi yang selama ini terjadi.
"Kalau ini terus-menerus dan pemerintah tetap denying (menyangkal) akan apa yang terjadi, situasinya bisa mengarah pada krisis multidimensi seperti tahun 97-98," ujarnya dalam sebuah diskusi, Selasa (2/9/2025).
Ketimpangan ekonomi ini salah satunya muncul dari kegagalan pemerintah dalam mengelola kebijakan fiskal yang adil sehingga memicu krisis kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah.
Baca juga: Kemarahan Publik Berakar di Kesenjangan Ekonomi, Bukan Hanya karena Tunjangan DPR dan Pajak
Dia menjelaskan, aksi demonstrasi di berbagai daerah seperti di Pati, Bone, Makassar, hingga Jakarta terjadi karena masyarakat merasa kebijakan fiskal tidak adil.
Pasalnya, masyarakat diwajibkan untuk membayar berbagai jenis pajak, bea, dan pungutan lainnya.
Masyarakat pun menjalankan kewajiban tersebut dengan harapan mendapat timbal balik dalam bentuk layanan publik yang memadai.
Namun yang terjadi justru uang yang masuk ke penerimaan negara itu digunakan pemerintah untuk belanja ke sektor-sektor yang tidak prioritas.
"Rakyat diminta membayar pajak, iuran, dan menerima efisiensi yang dilakukan oleh pemerintah. Sementara pemerintah tampak boros, menambah jumlah kementerian dan lembaga, membiarkan rangkap jabatan di BUMN, serta menaikkan gaji dan tunjangan anggota DPR," ungkapnya.
Selain kebijakan yang tidak adil, dia juga menilai, demo yang meluas juga dipicu oleh ketimpangan ekonomi yang kian melebar.
Walaupun pertumbuhan ekonomi Indonesia stabil di kisaran 5 persen selama satu dekade terakhir, tetapi manfaatnya dinilai tidak merata dan lebih banyak menguntungkan sektor padat modal.
Hal ini ditunjukkan dari gini rasio Indonesia yang masih berada di level 0,39, menandakan distribusi pendapatan yang timpang.
Meski kini tingkat kemiskinan turun, namun jumlah masyarakat kelas menengah juga ikut berkurang.
Baca juga: Ekonom: Kesenjangan Ekonomi Jadi Pemicu Ledakan Amarah Publik
Terlebih, sebagian besar masyarakat hanya berada sedikit di atas garis kemiskinan.
"Jadi ketika ada shock atau ada inflasi yang sedikit saja naik, dia akan jatuh menjadi miskin," kata dia.