JAKARTA, KOMPAS.com - Dana pemerintah daerah (pemda) yang mengendap di perbankan kembali mencetak rekor tertinggi. Hingga akhir Agustus 2025, nilainya mencapai Rp 233,11 triliun, naik Rp 40,54 triliun dibanding periode sama tahun lalu sebesar Rp 192,57 triliun.
Angka ini bahkan menjadi yang tertinggi sejak 2021. Data Kementerian Keuangan menunjukkan, dalam lima tahun terakhir dana pemda yang parkir di bank relatif besar.
Pada 2021 tercatat Rp 178,95 triliun, lalu naik menjadi Rp 203,42 triliun pada 2022, Rp 201,31 triliun pada 2023, Rp 192,57 triliun pada 2024, dan Rp 233,11 triliun pada 2025.
Sementara itu, realisasi belanja daerah hingga 24 September 2025 baru mencapai Rp 656,40 triliun atau 46,86 persen dari pagu. Minimnya penyerapan anggaran dinilai berpotensi menahan pertumbuhan ekonomi di daerah.
Baca juga: Dana Pusat Deras, Belanja Daerah Seret
Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa mengaku heran dengan fenomena tersebut. Ia menegaskan, pemerintah pusat akan mengevaluasi hambatan yang membuat pemda lambat membelanjakan anggaran.
Bila terbukti dana tersebut tidak terpakai, pemerintah berencana mengambil alih sebagian agar lebih optimal.
“Kalau memang betul-betul nganggur, kita pindahkan. Biar belanja daerah lebih rajin,” ujar Purbaya di Jakarta, Kamis (25/9/2025), dikutip dari Kontan.
Ia menambahkan, pemerintah juga akan meninjau ulang mekanisme penyaluran transfer ke daerah (TKD) agar lebih efisien.
Pencairan dana ke pemda di awal tahun diharapkan bisa dipercepat sehingga tidak menumpuk di bank. Meski begitu, Purbaya memastikan langkah tersebut tidak akan membuat daerah kekurangan anggaran.
Baca juga: Dana Pemda Mengendap di Bank Capai Rp 233,11 Triliun, Paling Banyak di Jawa
Fenomena penyerapan belanja yang rendah bukan hal baru. Kepala Pusat Makroekonomi dan Keuangan Indef, M Rizal Taufikurahman, menilai persoalan ini lebih disebabkan masalah klasik, mulai dari perencanaan yang kurang matang, proses pengadaan yang lamban, hingga keterbatasan kapasitas birokrasi daerah.
“Akibatnya, dana yang seharusnya menggerakkan ekonomi lokal justru berputar pasif di bank dan hanya menambah idle money tanpa multiplier effect,” kata Rizal, dikutip dari Kontan.
Meski pemerintah pusat berencana memperketat kontrol, Rizal mengingatkan pengembalian dana ke pusat bukan solusi ideal karena bertentangan dengan prinsip desentralisasi fiskal. Menurutnya, pola insentif dan disinsentif berbasis kinerja bisa menjadi jalan tengah.
Dengan pendekatan performance-based transfer, daerah yang mampu menyerap anggaran dengan baik mendapat ruang fiskal lebih luas, sedangkan daerah yang lambat dikenakan sanksi.
“Tanpa reformasi kelembagaan, tambahan TKD hanya akan mengulang pola yang sama, yakni dana menumpuk di bank dan realisasi belanja seret setiap tahun,” tegasnya.
Artikel ini sudah tayang di Kontan dengan judul "Dana Pemda Ratusan Triliun Mengendap di Bank, Belanja Daerah Masih Seret".
Dalam segala situasi, KOMPAS.com berkomitmen memberikan fakta jernih dari lapangan. Ikuti terus update topik ini dan notifikasi penting di Aplikasi KOMPAS.com. Download sekarang