
MENTERI Keuangan Purbaya Yudi Sadewa lewat Keputusan Menteri Keuangan Nomor 276 Tahun 2025 telah menempatkan dana pemerintah sebesar Rp 200 triliun yang selama ini di Bank Indonesia (BI) ke lima bank milik negara, yaitu: BNI, BRI, Bank Mandiri, BTN, dan Bank Syariah Indonesia).
Dana tersebut ditempatkan dalam Deposit on Call dengan jatuh tempo 6 bulan yang bisa diperpanjang.
Bunga yang harus dibayar oleh 5 bank milik negara atas dana pemerintah tersebut adalah 4 persen per tahun. Jadi bukan dana gratis seperti yang selama ini dimengerti oleh sebagian besar masyarakat.
Ketentuannya dana tersebut tidak boleh digunakan untuk membeli surat-surat berharga seperti SBI dan SBN tetapi disalurkan ke kredit sektor riil.
Kebijakan ini disambut pula dengan kebijakan BI dengan menurunkan BI Rate ke level 4,75 persen.
Penurunan BI Rate ini diharapkan berimbas kepada penurunan bunga deposito dan akhirnya kepada bunga pinjaman atau kredit.
Harapannya dana Rp 200 triliun itu segera disalurkan menjadi kredit ke sektor riil. Namun, benarkah sesederhana itu?
Baca juga: Kucuran Rp 200 Triliun ke Perbankan Dianggap Perbesar Risiko Pelemahan Rupiah
Sebenarnya kalau dilihat situasi kongkretnya, likuiditas perbankan sudah mencukupi, tapi masalahnya justru di permintaan kreditnya. Salah satu indikatornya adalah tidak dicairkannya kredit yang sudah disetujui.
Berdasarkan data BI dan OJK sampai Semester 1 2025, kredit yang sudah disetujui tetapi belum dicairkan tersebut mencapai Rp 2.300 triliun atau 22,71 persen dari total kredit perbankan yang disetujui.
Tingkat pertumbuhannya pun cukup tinggi, yaitu 9,5 persen per tahunnya.
Jika kredit yang sudah disetujui saja tidak dicairkan, sangatlah sulit untuk mengharapkan pertumbuhan kredit baru.
Memang ada dua kemungkinan mengapa kredit yang sudah disetujui tidak dicairkan. Pertama, dari pihak bank ada masalah birokrasi yang membutuhkan waktu sehingga status kredit yang tidak dicairkan itu sebetulnya lebih tepat belum dicairkan.
Kedua, ada pembatalan dari pihak debitur atas kredit yang diajukannya karena melihat prospek ekonomi dan daya beli masyarakat yang tidak menjanjikan.
Tampaknya kemungkinan kedua yang lebih banyak sebagai penyebabnya. Hal tersebut dibuktikan bahwa sampai Agustus 2025 telah terjadi 4 kali deflasi, yaitu di bulan Januari (0,76 persen), Februari (0,48 persen), Mei ( 0,37 persen), dan Agustus (0,08 persen). Deflasi ini membuktikan bahwa daya beli masyarakat belum membaik.
Baca juga: Bos BI Sambut Menkeu Purbaya Guyur Himbara Rp 200 Triliun: Perkuat Likuiditas Perbankan
Indikator yang lain adalah Purchaing Manager Index (PMI) Indonesia yang juga belum membaik.