Rencananya, TNI AU juga akan menambah dua skuadron lagi di Tarakan, Kalimantan Utara, dan Malang, Jawa Timur.
Sementara itu, untuk anti-drone, Artileri Pertahanan Udara TNI Angkatan Darat memiliki rudal Grom dan TNI Angkatan Laut memiliki armada fregat jenis Misral.
Baik Grom maupun Mistral masuk kategori SHORAD, rudal ringan untuk sasaran jarak pendek.
Untuk sistem peluncurnya, TNI AL memiliki Mistral dengan dua platform, yakni Tetral dan Simbad.
Jika Simbad dioperasikan secara manual oleh operator, Tetral dapat dioperasikan dari pusat informasi tempur.
Satuan Kapal Eskorta TNI AL memiliki empat kapal yang dilengkapi unit korvet untuk meluncurkan rudal Mistral Tetral.
Keempatnya ialah KRI Diponegoro 365, KRI Hasanuddin 366, KRI Sultan Iskandar Muda 367, dan KRI Frans Kaisiepo 368.
Juru Bicara Prabowo Subianto, yang merupakan Menteri Pertahanan (Menhan) RI periode kedua Presiden Jokowi, Dahnil Anzar Simanjuntak mengatakan bahwa pemerintah sudah menunjukkan good will yang kuat untuk memperkuat dan memodernisasi alutsista TNI.
Itu disampaikan Dahnil dalam bukunya berjudul "Politik Pertahanan" tahun 2023.
"Terbukti dengan peningkatan anggaran Kementerian Pertahanan. Dari Rp 48,9 triliun pada tahun 2010 terus naik menjadi Rp 109,6 triliun pada tahun 2019," ungkap Dahnil dalam bukunya. (Buku "Politik Pertahanan" halaman 116).
"Sementara tahun 2020 naik lagi menjadi Rp 131 triliun," kata dia.
Pengamat militer Khairul Fahmi berpandangan bahwa upaya Jokowi dalam memodernisasi alutsista 10 tahun terakhir sudah memperlihatkan kemajuan, terutama dalam penguatan sektor maritim dan pengembangan industri pertahanan dalam negeri.
Namun, jika dilihat dalam konteks global dan tren perang modern, Indonesia dinilai masih harus menempuh jalan panjang.
"Pengembangan teknologi seperti drone, kecerdasan buatan, dan perang siber belum mencapai tingkat yang memadai untuk menghadapi ancaman kontemporer," ucap Khairul kepada Kompas.com, Kamis (10/10/2024).
Baca juga: Dibandingkan Negara Asean Lain, Indonesia Dinilai Cukup Sukses Soal Pengadaan Alutsista Dalam Negeri
Ia juga mengungkapkan, tantangan utama dalam mempercepat modernisasi alutsista yakni soal kendala anggaran, transfer dan akses teknologi, maupun keterbatasan industri pertahanan dalam negeri.
Menurut Khairul, Indonesia perlu mempercepat pengembangan kemandirian alutsista dengan memperkuat riset dan pengembangan, memperkuat alih teknologi, dan meningkatkan alokasi anggaran pertahanan.
"Selain itu, penting untuk menciptakan ekosistem siber yang lebih kuat untuk menghadapi ancaman perang siber yang semakin meningkat," ujar Co-Founder Institute for Security and Strategic Studies (ISESS) ini.
Khairul mengingatkan bahwa penting bagi pemerintah untuk menyoroti perang generasi kelima yang mencakup penggunaan drone, cyber warfare, kecerdasan buatan (AI), big data, dan ruang siber sebagai elemen kunci dalam strategi pertahanan modern.
Perang ini disebut tidak lagi hanya berfokus pada konfrontasi fisik di medan perang, tetapi juga serangan non-konvensional dan ancaman non-tradisional seperti perang informasi dan infiltrasi teknologi.
Dalam konteks ini, Indonesia dinilai sudah mulai berupaya mengembangkan teknologi drone, terutama melalui PT Dirgantara Indonesia (PTDI) dan LAPAN.
"Di sisi lain, negara-negara seperti Turki dan China telah jauh lebih maju dalam pengembangan drone militer. Turki, misalnya, sukses dengan Bayraktar TB2, yang memainkan peran kunci dalam sejumlah konflik," ungkap Khairul.
Sementara Indonesia, kata dia, masih dalam proses mengejar ketertinggalan dalam hal drone kombatan dan teknologi AI.
Menurutnya, salah satu tantangan terbesar adalah keterbatasan dalam transfer teknologi dan akses teknologi kunci.
"Banyak peralatan yang diimpor dari luar negeri, namun proses alih teknologi dari negara produsen ke Indonesia belum optimal, sehingga penguasaan teknologi oleh sumber daya manusia lokal masih terbatas. Dengan situasi ini, pengembangan drone kombatan yang benar-benar mandiri dalam negeri masih membutuhkan waktu dan investasi besar," katanya.
Pada akhirnya, ia menilai bahwa 10 tahun pemerintahan Jokowi, fondasi untuk modernisasi pada dasarnya sudah dibangun.
"Tetapi diperlukan dorongan yang lebih besar untuk benar-benar menyamai kemampuan pertahanan negara-negara yang lebih maju, atau yang mengalokasikan anggaran belanja pertahanan lebih besar. Khususnya dalam menghadapi tantangan perang generasi kelima," tutur dia.
Sementara itu, peneliti Lembaga Studi Pertahanan dan Studi Strategis Indonesia, Beni Sukadis, menilai, pengembangan pesawat nirawak di Indonesia belum optimal dan masih butuh waktu panjang untuk meningkatkan kapabilitasnya.
Melansir Kompas.id, pengembangan drone nasional dinilai lebih fokus pada aspek intelijen, pengawasan, dan pengintaian (intelligence, surveillance, reconnaissance/ISR) (Kompas, 14 April 2024).
Padahal, lanjut Beni, fungsi intelijen dan pengawasan merupakan kemampuan paling rendah dari pemanfaatan drone.
Sebab, fungsi ini sebatas pada pengumpulan informasi dengan kemampuan fotografik dan pemetaan di wilayah musuh.
Di saat situasi tidak menentu, Kompas.com tetap berkomitmen memberikan fakta jernih dari lapangan. Ikuti terus update terkini dan notifikasi penting di Aplikasi Kompas.com. Download di sini