PERMINTAAN maaf secara terbuka terhadap institusi Polri dan Kapolri yang dilakukan Band Sukatani beberapa waktu lalu, atas karya progresif yang mereka ciptakan berupa lagu berjudul "Bayar Bayar Bayar", membuka tabir kontradiksi serius antara komitmen dan tindakan bagi Kepolisian, terutama berkaitan dengan penyikapan atas berbagai kritikan publik terhadap kinerjanya.
Dugaan publik perihal keterlibatan aparat yang melatarbelakangi permintaan maaf band Sukatani nyatanya berada pada track yang benar.
Sebab, tidak lama setelah lagu tersebut viral, kedua personel band ini didatangi Direktorat Reserse Siber Polda Jawa Tengah pada 20 Februari 2025.
Polda Jawa Tengah (21/2) menyatakan bahwa personel mendatangi band tersebut dalam rangka klarifikasi tujuan pembuatan lagu "Bayar Bayar Bayar".
Pada bagian inilah ketidaklogisan terjadi. Tindakan klarifikasi yang dilakukan aparat berujung permintaan maaf band Sukatani. Lagu tersebut mereka tarik dari platform musik, bahkan keduanya membuka identitas saat menyampaikan permintaan maaf.
Pertanyaannya, bagaimana mungkin jika hanya upaya klarifikasi, tapi ujungnya pembungkaman?
Baca juga: Marsinah dan Ingatan Kelam Dwifungsi ABRI
Masyarakat awam pun dapat melihat dengan mudah wajah-wajah penuh tekanan dalam video permintaan maaf yang beredar luas tersebut.
Selain itu, pertanyaan berikutnya, mengapa aparat perlu menanyakan tujuan pembuatan lagu tersebut? Apakah lirik-lirik lagu tidak cukup jelas memberikan jawaban bahwa lagu tersebut adalah kritikan atas realitas di lapangan?
Tindakan ini seakan mengisyaratkan bahwa setiap kritikan yang ditujukan kepada Polri dalam berbagai bentuknya, perlu dijabarkan dan dilaporkan kepada Kepolisian perihal maksud dan tujuannya.
Aparat semestinya memberikan penghargaan kepada band Sukatani, karena mengangkat kritikan terhadap institusi Polri dalam bentuk lagu, sehingga menjangkau khalayak lebih luas dan publik semakin aware untuk mengawasi oknum polisi.
Singkatnya, lagu ini semestinya disikapi dan didukung sebagai upaya mendorong reformasi kultural Polri.
Klarifikasi yang berujung permintaan maaf dari pihak yang didatangi, hingga menarik lagu dari platform musik, semestinya patut dicurigai menyimpan tindakan intimidatif dan represif di dalamnya.
Meskipun dalam klarifikasinya, sebagaimana disampaikan Polda Jawa Tengah (21/2), lagu tersebut dapat diedarkan kembali, tetapi kondisi ini semakin menebalkan fenomena #noviralnojustice yang selama ini muncul di tengah masyarakat terhadap kinerja kepolisian.
Dalam rangka implementasi komitmen Polri menerima dan terbuka atas kritik publik, Kapolri semestinya memimpin pemeriksaan terhadap kasus ini.