Mereka memiliki dasar justifikasi berbasis kepakaran dalam memberikan penilaian atas kondisi reformasi Polri. Penilaian mereka perlu dipandang sebagai vitamin dalam pembenahan
Kondisi ini juga perlu menjadi alarm bagi Polri agar segera melakukan evaluasi kinerja. Evaluasi yang dimaksud dapat berkaitan dengan kinerja pengawasan internal dan implementasi hukuman atas pelanggaran-pelanggaran yang dilakukan oleh anggota Polri.
Minimnya pengawasan dan punishment dapat mengakibatkan kesewenang-wenangan kinerja aparat yang berulang.
Di balik permintaan maaf band Sukatani, terpampang realitas bahwa komitmen yang disampaikan Kapolri untuk terbuka atas kritikan, bahkan kritik terkeras menjadi sahabat Kapolri, dapat berbanding terbalik dengan respons aparat di tingkat daerah.
Melalui kasus ini, terlihat bahwa upaya menjadi kepolisian demokratis yang terbuka atas kritik, justru cenderung kuat hanya di tingkat pusat.
Baca juga: Waspada Sextortion, Lindungi Anak-anak di Medsos
Pada tingkat daerah, perwujudan komitmen Kapolri tersebut masih menjadi PR besar. Bahkan berpotensi tidak inheren dengan sebagian anggotanya di daerah.
Padahal, lirik lagu yang memuat potret perilaku koruptif aparat di lapangan dalam berbagai urusan pelayanan publik, semestinya menjadi lecutan institusi Polri untuk terus berbenah dan mengakselerasi reformasi kultural hingga level daerah.
Sebab, berbagai persoalan yang terkandung dalam lirik lagu tersebut juga termasuk ke dalam 130 permasalahan yang menjadi pemicu utama stagnasi reformasi Polri selama ini, sebagaimana hasil identifikasi SETARA Institute dalam studi Desain Transformasi Polri (2024).
Di saat situasi tidak menentu, Kompas.com tetap berkomitmen memberikan fakta jernih dari lapangan. Ikuti terus update terkini dan notifikasi penting di Aplikasi Kompas.com. Download di sini